BAB I
LATAR BELAKANG
MASALAH
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya
sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah
pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan
kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri
atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya
pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya,
struktur pendidikan dan tenaga kependidikan
Berangkat dari definisi di atas maka dapat
difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada
tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban
bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem
pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan
‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam
pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam
penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya
mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap
dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan,
“Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap,
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika.
Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan
dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan
legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat
(1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya
seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU
No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah
di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar,
RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar
(Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di
Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas
dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi
hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang
menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia,
yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di
Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul
Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki
urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan
pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang
dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhinya.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas
pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus
juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah
subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek
kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang
saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya,
pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan
pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di
dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara
internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, berbagai
perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang
layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.
2.1 Permasalahan Pendidikan Sebagai Suatu
Sub-Sistem
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka
keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai
berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di
tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya
yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh
rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat
diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar
saja.
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang
Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan
dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,
pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada
masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP
No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada
tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan
mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu.
Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Kenyataan yang menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
merupakan jasa komoditas adalah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang
menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa
berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut
riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota
se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban
biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak
langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan
masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari
biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank
dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana
penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah
India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika
dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase
anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang
terendah. (www.worldbank.com)
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang
berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura),
permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di
dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam
pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat ini lebih kepada tujuan
untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang
tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh
berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas
No.20/2003 pasal 3 yang menunjukan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI
menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP
No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.
Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan belajar siswa
setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini
adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya
berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada
tiga mata pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris)
yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah
(Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur
standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan
mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Di sisi lain,
aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak
pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses
pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar
kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara
akibatnya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika,
perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan berbagai tindakan
kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan
beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran
khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukan tidak relevannya sistem
pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia
indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan
dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), karena realitas
justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai bagian dari masyarakat
mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat
lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun karena
kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler,
ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka
sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan
sekulerisme yang makin meluas.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang
oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala
cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk
dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak
2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond
Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor
pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku
untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan
pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak
sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering
terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai contoh kebijakan Mendiknas,
Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun ajaran 2005/2006 ternyata
berkaitan dengan dana yang tersedia untuk program tersebut sangat besar,
padahal berbagai aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya,
Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP),
National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The
Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural
(KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia
(FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang
(FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education
Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa
kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya
sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya dengan
pengaruh dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi,
dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari penyelenggaraan
sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
2.2 Permasalahan Pendidikan Sebagai
Sebuah Sistem Kompleks
Dalam
kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan yang saat
ini tengah berkembang diantaranya tergambar dengan pemetaan sebagai berikut:
Sumber :
Disdik Provinsi Jawa Barat (Makalah Seminar Pendidikan Nasional-UPI Expo 2006)
Oleh karena itu, berdasarkan pemetaan di atas maka masalah pendidikan nasional
dapat diuraikan sebagai berikut:
2.2.1 Pemerataan Pendidikan
1. Keterbatasan
Aksesibilitas dan Daya Tampung
Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang
baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan
target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun
1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini
berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005
adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan
antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk
kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada
tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target
Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang
artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai
85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu
adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun
2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus
tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI
2006).
Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional
ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1)
anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700
orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang
pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia
7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini
pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan
sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan
APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen
dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008
(8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil
dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena
indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap
seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan
bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia
13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen.
Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks
Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio
partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada
sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
(www.republikaonline.com)
2.2.2. Kerusakan
Sarana/ Prasarana Ruang Kelas
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan
sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana
mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan
yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah
yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan
rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP
sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas.
Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si (PR,15/07/2005),
berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap tahun kebutuhan biaya
menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI saja butuh dana sebesar Rp 251
miliar, terdiri dari penambahan ruang kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6
miliar, rehab total ruang kelas sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar
dan rehabilitasi sedang ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar.
Kemudian kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat SD/MI
sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya pembangunan dan rehabilitasi
ditambah penanggulangan drop out SD/MI saja setiap tahunnya mencapai Rp 410
miliar. Sedangkan kemampuan anggaran pemerintah untuk pembangunan pendidikan di
Jabar hanya mampu untuk mengantisipasi kedua hal tersebut. Adapun kemampuan
daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan setiap tahunnya hanya antara
Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar, anggaran tersebut hanya akan menjangkau
kebutuhan minimal.
Klaim bahwa pemerintah daerah di lingkungan jawa barat memiliki kemampuan
yang terbatas dalam menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diungkapkan di
atas, tentu merupakan koreksi bagi pemerintah itu sendiri, yaitu mengapa selama
ini alokasi untuk program yang lain alokasinya cukup besar, tetapi untuk
program pendidikan jauh lebih kecil. Sebagaimana misalnya dalam APBD Kota
Bandung 2007 alokasi anggaran untuk sebuah tim sepakbola Persib Bandung yang
lebih bersifat hobi dan penghamburan ketimbang suatu program pembangunan
besarannya ternyata mencapai Rp 15 Milyar, bahkan jumlah tersebut masih
dianggap kurang.
2.2.3. Kekurangan Jumlah Tenaga Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan,
merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian
oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini
jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat
kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman,
M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru
dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di
tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat
sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di
sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18
ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah
menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru
ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan.
Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat
berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
Sementara itu Dany Setiawan mengungkapkan bahwa saat ini terdapat masalah
kekurangan guru sebanyak 88.500 lebih terutama untuk jenjang pendidikan dasar
di Jabar, sementara di sisi lain sebanyak 48.000 guru bantu tengah menanti
pengangkatan, dimana persoalan pengangkatan guru menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) merupakan wewenang pusat. Untuk sementara, melalui APBD pemprov jabar
telah menganggarkan tenaga guru bantu sementara yang diberikan tunjangan
sebesar Rp 1 juta per orang. Namun, jumlahnya yang hanya kurang lebih 1.500
tentu saja masih belum bisa menutupi kekurangan yang mencapai 80 ribu lebih.
2.3
Pengelolaan dan Efisiensi
Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya dikelompokan
berdasarkan tiga hal yaitu:
2.3.1. Kinerja dan
Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh
pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan
pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai
dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru
dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas
untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi,
fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai
maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi
kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak
semanis redaksinya. Sebagai contoh, Kompas (6/2/2007) memberitakan bahwa
sejumlah guru di Kota Bandung menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan
Nasional yang berencana memperberat penerimaan insentif rutin dan mengaitkan
dengan syarat sertifikasi. Pandangan keberatan ini beberapa di antaranya
dilontarkan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandung Kustiwa
dan Sekretaris Jendral Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung Iwan
Hermawan. Keduanya sependapat, tunjangan fungsional tidak ada kaitan sama
sekali dengan syarat sertifikasi guru. Hal ini karena keberadaan tunjangan
fungsional dan profesi secara prinsip sebetulnya tidak saling terkait.
Tunjangan fungsional lebih dianggap sebagai kebijakan yang melekat secara
otomatis pada profesi guru, terlepas sejauhmana profesionalnya bersangkutan.
Jadi, jelas berbeda dengan tunjangan profesi yang pada prinsipnya bertujuan
memacu profesionalitas guru.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Permasalahan kesejahteraan guru
biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan
proses pendidikan.
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam
penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan
menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak
untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment
yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam
bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar
dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk.
Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru
yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
2.3.2 Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan
pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh
ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk
mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP
No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai
dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada
satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan
standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara
peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model
yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif
dan efisien
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik
membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik,
sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah
kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai
pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model
pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang
Belum Memadai
Ketersediaan
buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat
penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana
dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan
Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang
meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber
belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan
untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara
teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh
sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus
sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun
2007 ini, pemerintah melalui Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi (PKPS) Dana BOS buku 2007 akan dicairkan karena dana BOS buku tahun
2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan dana BOS buku 2006
belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat kabupaten/kota. Unit cost untuk
setiap siswa dari BOS buku ini Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu
buah jenis buku. Jadi kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat
SD maupun SMP sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang dibeli
juga harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Jumlah
penerbit yang telah mendapatkan sertifikat dan sesuai menurut Permendiknas No.
11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit
tersebut jika dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit,
bahasa Indonesia sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit
(www. Klik-galamedia.com,
08 Februari 2007).
2.3.4. Penyelenggaraan Otonomi
Pendidikan
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU
No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang
menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan
hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan
pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab
negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri. Dalam
penjelasan pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa
Kemandirian dalam penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin
dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada
pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan dapat
menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitasnya.
2.3.5 Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam
penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan
tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang
Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan
bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) (ayat 1).
Permasalahan lainnya yang juga
penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya
merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak
memiliki kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD.
Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi,
maupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini
penanganannya secara kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah
dirampas Oleh para ahli pemilik modal.
2.3.5. Mutu SDM
Pengelola Pendidikan
Sumber
daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah,
melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan
suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan secara
praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang
berkualitas, sehingga adaptasi dam sinkronisasi terhadap berbagai program
peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang
berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara
nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme
MBS dan Otonomi PT sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi
dari otonomi pendidikan.
2.4
Relevansi pendidikan
2.4.1. Belum Menghasilkan Life
Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang
dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka
berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk
SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain
yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan
pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud
meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik,
satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik
diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata
pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia
dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk
menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b. Ulangan,
ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan
karakteristik materi yang dinilai.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang
diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian
di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara
proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal
yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan
berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk
mempertanyakan hal ini.
2.4.2. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada
Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36
tentang Kurikulum menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah,
dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a.
peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan
lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia
kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i.
dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Dalam PP No.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani,
olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau
bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran
membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi
dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu
melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika
salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi
keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
2.4.3 Belum Optimalnya Kemitraan
Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005
Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan
: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya RUU BHP
maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk
mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan DU/DI
tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang
berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang
sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh
keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
3.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian
masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu
hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang
diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam.
Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar
diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan,
baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan
dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan
Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu
secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem
ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan
hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan
ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem
pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang
dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya.
Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu
dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep
syari’ah islam.
Salah
satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem
Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan
(Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas
sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal
paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan
struktur kurikulum.
3.2 Solusi Untuk Permasalahan Derivat
Seperti
diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di
Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,
2) Kerusakan sarana dan prasarana,
3) Kekurangan tenaga guru,
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5) Proses pembelajaran yang konvensional,
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7) Otonomi pendidikan.
Keterbatasan anggaran
9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12) Kemitraan dengan DU/DI
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap
tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal
ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik,
yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial,
ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai
pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah
dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk
kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang
memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber
dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik
sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh
penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya
pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam
bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan
memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami
sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu
mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap
kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam
mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang
aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana
pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil
eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan
adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan
permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis
kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik
untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus
pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik
sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan
penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan
berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang
berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang
segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas
dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala
kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi
serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan
mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan
adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
3.3 Solusi dari tokoh
Pendidikan
Gurunya adalah putera daerah yang kompeten,
petani/peternak/pengrajin/pengusaha sukses di daerahnya. Pemerintah/ Komunitas
daerah hanya perlu merekrut 2 orang PAEDAGOGE dan PSIKOLOG per Kabupaten untuk
menyusun kurikulum berbasis POTENSI BISNIS di daerah. Perpustakaan difokuskan
kepada pengembangan potensi daerah ini.Dengan begitu, pendidikan atau sekolah
benar2 menjadi tempat dimana BUSINESS dilahirkan, dihidupkan dan
diimplementasikan dalam dunia nyata untuk menghidupkan Kesholehan Sosial dan
Kesholehan Ekonomi di Daerah. [Harry Santosa]
Tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi dari guru/dosen yang harus
ditingkatkan sebagai insentif dalam proses mengajar serta semakin banyak
sekolah yang mempunyai fasilitas yang memadai tetapi masih terlalu besar poverty
gap antara sekolah di kota dan di desa." Prioritas yang paling
mendesak dilakukan pemerintah saat ini menurut Syamsul adalah perbaikan gaji,
perbaikan kurikulum, perbaikan peraturan/regulasi, dan pendistribusian subsidi
pemerintah yang adil dan menyeluruh. Selain itu kemampuan guru dan dosen
sendiri harus ditingkatkan baik melalui intensive training dan self-learning
seperti research, menulis di jurnal dll. Seharusnya hal-hal seperti inilah yang
harus ditingkatkan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu para pendidik itu
sendiri. Good educators mean good education dan diharapkan akan
menghasilkan para lulusan yang bermutu dan siap kerja. (Syamsul Arief Rakhmadani,seorang
staff pengajar di INTI College)
Mengutif
dari DR.H.Arief Rahman,MPd,sebagai
Executive Chairman of Indonesian National Commision untuk Lembaga PBB UNESCO
ini, adalah Mutu Guru. Di mana kesejahteraan mereka para guru harus
diperhatikan dan diperbaiki, akademisnya juga harus diperbaiki, pola
mengajarnya juga harus diperbaiki. Bangsa dan negara ini juga mempunyai andil
dalam kesalahan besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Maksud saya adalah seolah-olah semua masalah besar
pada pendidikan dibebankan atau ditujukan kepada Pemerintah saja, padahal itu
adalah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia juga atau tanggung jawab kita
bersama. Saya beri contoh, jika ada sesuatu yg tidak beres dalam tatanan dunia
pendidikan seharusnya kita tanyakan dulu kepada diri kita sendiri tentang
permasalahan itu, dan kita berusaha ikut berpartisipasi positif dan aktif di
dalam memajukan sistem pendidikan di Indonesia. Jangan hanya menyalahkan
pemerintah saja. Dalam hal ini pemerintah itu hanya memberikan rambu-rambu
pendidikan yang fleksibel yang dapat kita rembukan atau diskusikan bersama
untuk hal perubahan atau penambahan di dalam rambu2 tersebut".
Menurut Syamsul yang mengidolakan Mr.Peter O'Donnell salah satu senior
lecturer di Monash University dulu, ada dua hal yang menjadi tantangan
terbesar bagi dunia pendidikan di Indonesia menghadapi era globalisasi dunia
sekarang. Yang pertama adalah
Teknologi. Minimnya pengetahuan teknologi sangat mempengaruhi kemampuan para
edukator. Saya yakin bahwa banyak guru-guru yang tidak mengetahui adanya
internet sedangkan para murid sudah technology-aware. Yang kedua,
masuknya sekolah plus dengan overseas syllabus. Tantangan ini bisa
berdampak positif dan berdampak negatif, tergantung dari perspektif mana kita
melihatnya. Syllabus dari luar negeri tidak sepenuhnya sempurna
seperti yang dipikirkan oleh banyak orang, banyak hal-hal yang tidak sesuai
dengan kondisi Indonesia. Tetapi di lain sisi, overseas syllabus
maupun sekolah plus akan memberikan nilai tambah tersendiri dan mungkin akan
menjadikan suatu warning bahwa era globalisasi has truly arrived. Dan
kita berharap pemerintah mempunyai peraturan yang mengatur sekolah plus dan syllabus-nya
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Kunjungan tim yang bersifat sporadis, tidak akan bisa menemukan
permasalahan (pendidikan) penduduk miskin yang sesungguhnya. Diperlukan suatu
tim yang bersifat permanen yang dikenal dan padu dengan dinas instansi terkait
baik di propinsi, kabupaten kota sampai ke kecamatan. Tim itu harus
berkemampuan untuk melakukan:
1.
Pengamatan langsung dan kajian
bersama yang melibatkan: ahli
pendidikan, tokoh masarakat (pendidik) nagari, serta dialog dengan kaum duafa, langsung.
2.
Perumusan
program Kurikulum Muatan Lokal di sekolah, dan program pendidikan luar sekolah
yang benar-benar berguna bagi penduduk (miskin) yang bersekolah atau berdiam di
Nagari Binaan. Walaupun memang tidak semua rakyat nagari itu miskin, dan biasanya
rakyat kaya memerlukan muatan lokal dan program keterampilan yang berbeda dari
kebutuhan mendesak rakyat miskin.
3.
Inisiasi
pelaksanaan pendidikan (kurikulum muatan lokal) serta diklat PLS , yang
bersifat teknologi terapan sederhana, yang terprogram dan terlaksana dengan
rapi.
4.2 Saran
1.
Agar keanggotaan tim pembinaan tidak terlalu alir, sering gonta-ganti, dan setiap anggota
tim yang turun ke negeri dapat memberikan masukan yang jelas kepada leading
sektor pembinaan. Akan lebih bagus bila anggota tim pembinaan nagari itu
dipikirkan untuk dijadikan ‘tim permanen lintas sektoral’ yang menguasai permasalahan (kesehatan, pendidikan dan
ekonomi kerakyatan), dengan Surat Tugas dari Gubernur.
2.
Harus ada komunikasi yang
intense antara
pemuka masyarakat dan pemerintahan nagari dengan tim. Diperlukan pula forum
pendiskusian berbagai alternatif kegiatan, yang ditawarkan, untuk mengatasi
berbagai masalah.
3.
Usaha serius untuk
menggalakkan siswa menjadi pembaca harus segera dimulai, baik di sekolah-sekolah
maupun melalui PLS. Sehingga pembinaan terhadap semua lapisan masarakat dapat
dilakukan dengan mudah.