Tuesday 10 September 2013

ANALISA SOSIAL1



STRUKTUR SOSIAL
            Lebih dahulu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur sosial. Kita ketahui, bahwa orang-orang yang hidup dalam masyarakat saling berinteraksi. Interaksi ini didasari dan terus diarahkan pada nilai-nilai kebersamaan, norma-norma yaitu standar tingkah laku yang mengatur ineraksi antar individu yang menunjukkan hak dan kewajiban tiap-tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama tercapai, dan akhirnya oleh sanksi, baik sanksi yang negatif dalam arti mendapat hukuman kalau melanggar norma maupun sangat positif yaitu mendapat penghargaan karena telah mentaati norma yang ada. Dasar dan arah umum interaksi inlah yang kita mengerti sebagai kultur.
            Kecuali itu, interaksi antar individu juga diantur sesuai dengan tujuan-tujuan khusus interaksi itu. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi orang dalam hubungannya dengan Illahi diatur dalam institusi agama. Sedangkan agar keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya bisa bisa terjamin dan pasti diadakan institusi politik. Institusi-institusi ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana kadar saling hubungan dan saling mempengaruhi, serta mana institusi yang paling berpengaruh harus dilihat langsung dalam masyarakat yang ada. Karl Marx umpamanya berpendapat, bahwa institusi ekonomislah yang merupakan landasan di mana institusi-institusi lain berdiri. Dengan kata lain semua institusi lainnya dipengaruhi dan ditentukan oleh institusi ekonomi. Tidak ada pengaruh timbal balik.
            Perlu diingat, bahwa dalam setiap institusi juga ada nilai-nilai, norma-norma dan sanksi-sanksi, karena tujuan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi serta saling berhubungan satu sama lain, itulah yang disebut stuktur sosial.  Kata stuktur menunjukkan saling adanya hubungan antara bagian keseluruhan. Maka dapat dikatakan stuktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya. Dengan kata lain struktur sosial adalah pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan permainan dalam berinteraksi.

KEADILAN PERSONAL, KEADILAN SOSIAL
            Selanjutnya perlu juga dimengerti perpindahan antara keadilan personal dan keadilan sosial. Dalam keadilan personal sering mudah diketahui siapa yang bertanggungjawab. Si pembeli A membeli barang dengan kualitas tertentu, ternyata dia mendapat barang dengan kualitas rendah. Penjual barang tersebut jelas langsung bisa dimintai pertanggungjawabannya.  Jelaslah mengenai keadilan personal, pelaksanaannya tergantung pada kehendak individu yang bersangkutan. Keadilan personal manuntut agar kita memperlakukan setiap orang yang kita hadapi dengan adil. Sebaliknya mengenai ketidak adilan sosial tanggung jawab atas perbuatan dan efek perbuatan menjadi tanggung jawab semua orang. Tidak bisa kita menunjuk satu orang untuk beranggung jawabsebagaimana pada ketidak adilan personal. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur masyarakat.  Karena tergantungnya pad stuktir masyarakat maka tanggung jawab ketidak adilan sosial menjadi tanggung jawab semua pihak.Hal ini diperjelas dengan seringnya individu dalam masyarakat yang tidak bisa bersikap adil meski dia sudah insaf namun karena struktur sosiallah yang menbuat dia tidak bisa bersikap adil. Umpamanya seorang pengusaha tekstil tidak dapat menaikkan upah buruh-buruhnya karena perdagangan tekstil sedemikian rupa sehingga kalau dia menaikkan upah buruh-buruhnya perusahaan akan gulung tikar. Dengan kata lain institusi ekonomi yang ada menyebabkan upah buruh tetap rendah. Kalau pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur sosial yang ada, maka perjuangan demi keadilan sosial berarti perjuangan membangun struktur sosial yang semakin adil.

TUJUAN ANALISA SOSIAL
            Analisa sosial adalah suatu usaha untuk mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan sosial. Dengan mempelajari institusi-institusi itu, kita akan mampu  melihat satu masalah sosial yang ada dalam konteknya yang lebih luas. Dan kalau kita berhasil melihat suatau masalah sosial yang henadak kita pecahkan dalam kontek yang lebih luas, maka kita pun juga dapat menentukan aksi yang lebih tepat yang diharapkan dapat menyembhkan sebab terdalam masalah tersebut. Demikian menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian penting usaha menegakkan keadilan sosial.

MODEL = KERANGKA BERPIKIR
            Dalam menganalisis masyarakat, sadar atau tidak sadar orang biasanya mempunyai kerangka berpikir atau memandang. Kerangka berpikir atau memandang inilah yang disebut model. Demikian suatu model adalah asumsi atau gambaran umum mengenai masyarakat. Model ini mempengaruhi begaimana seseorang memilih objek studi dan cara mendekati objek studi tersebut. Sedang teori yang turunkan dari model berifat lebih terbatas dan persis. Suatu model hanya bisa dinilai lengkap, produktif atau berguna, sedang teori bisa salah atau benar.
            Ada dua model yang sering melatar belakangi orang dalam mendekati masalah-masalah sosial, yaitu model konsensus dan model konflik.

MODEL KONSENSUS

            Menurut model konsensus, stuktur sosial yang ada merupakan hasil konsensus bersama aanggot masyarakat, perjanjian dan pengakuan bersama akan nilai-nilai. Menurut model ini, setiap masyarakat pada hakikatnya teratur dan stabil. Keteraturan dan kestabilan ini disebabkan karena adanya kultur bersama yang dianut dan dihayati oleh anggota-anggota masyarakat. Kultur bersama ini meliputi nilai-nilai, norma dan tujuan yang hendak dicapai.  Meskipun pada individu-individu ada kemungkinan-kemungkinan perbedaan dalam persepsi dan pengjhayatan kultur bersama itu, toh pada umumnya nilai-nilai sosial yang berdasar serta norma-norma ayang ada. Justru karena adanya konsensus bersama inilah,maka tata sosial dalam suatu masyarakat.
            Model ini menilai masalah sosial sebagai penyimpangan dari nilai-nialai dan norma-norma bersama, karenanya juga masalah sosial dianggap membahayakan stabilitas sosial. Penyelesaian masalah sosial selalu diusahakan dalam kerangka tata sosial yang sudah ada. Dengan kata lain tata sosial tidak pernah dipersoalkan , bahkan kelangsungan stuktur sosial yang sudah ada dijunjung tinggi. Model Konsensus melatar belakangi dua ideologi yaitu konservatif dan liberal.

a.      Ideologi konservatif
Ideologi konservatif berakar pada kapitalisme dan liberalisme abad ke-19. Pasaran bebas dianggap oleh ideologi iini sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi dan politik. Pasar bebas dianggap akan menjamin adanya desentralisasi kekuatan politik. Kaum konservatif menjunjung tinggi sruktur sosial. Demi tegaknya struktur sosial tersebut menurut kaum konservatif otoritas dinilai sangat hakiki. Termasuk struktur sosial adalah stratifikasi sosial atau tingkat sosial. Adanya perbedaan tingkat sosial ini dikarenkan perbedaan tingkat individu dengan bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang harus berkembang sesuai dengan bakat yang berbeda. Setuap orang harus berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya. Karenanya sudah sewajarnya kalau ada perbedaan dalam tingkat prestasi yang menuntut masyrakat untuk memberi imbalan dan balas jasa yang berbeda-beda, merupakan dasar adanya hak milik pribadi. Dengankata lain hak milik pribadi dianggap sebagai balas jasa atas jerih payah usaha tiap-tiap anggota masyarakat.

Kemiskinan Menurut Ideologi Konservatif
            Pada umumya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri.Orang miskin dinilai umumnya bodoh,malas, tidak punya motivasi beerprestasi tinggi, tidak punya ketrampilan dan sebagainya yang merka bialang sebagai mental dan kultur penyebab kemiskinan. Menilai positif terhadap stuktur sosial yang ada. Dan menggap kemiskinan sebagai penyimpangan ketentuan yang ada dalam konsensus. Kaum konservatif tidak menggap kemiskinan bukan sebagai masalah serius dan kemiskinan akan bisa diselesaikan dengan sendirinya, maka tidak perlu adanya campur tangan pemerintah.

b.      Ideologi Liberal
Liberasi memandang manusia pertama-tama sebagai  yang digerakan oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi, dan libaeralisme  mempertahankan hak manusia untuk semaksimal mungkin cita-cita pribadinay. Liberasi percaya akan efektifitas pasar bebas dan hak atas milik pribadi. Hak-hak, kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk melindungi individu-individu terhadap kesewenangan negara.



Kemiskinan Menurut Ideologi Liberal
            Berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan. Kemiskinan dapat diselesaikan bila tersedianya kesempatan yang seluas-luasnya tanpa diskriminasi. Kaum liberal percaya bahwa orang miskin dapat mengatasi kemiskinannya  asal mereka mendapat kesempatan berusaha yang memadahi, maka diusulkan  untuk  diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan penyebarluasan pendidikan.

Kesimpulan
Baik konservatif maupun liberal mempertahankan struktur sosial yang telah ada, dan stuktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial, sistem ekonomi kapitalis dan demokratis politik. Perbedaan dalam memandang kemiskinan, kalau kaum konservatif kemiskinan adalah kesalahan orang miskin itu sendiri dan kaum konservatif cenderung membiarkan sedang kaum liberal mengusahakan agar orang miskin mendapatkan kesempatan yang sama dan mampu menyesuaikan dalan struktur.

MODEL KONFLIK
            Berbeda dengan model konsensus, model konflik ini memandang stuktur sosial yang ada sebagai hasil pemaksaan sekelompok kecil anggota masyarakat terhadap mayoritas warga masyarakat. Jadi struktur sosial bukan merupakan hasil konsensus seluruh warga apalagi persetujuan bersama mengenai nilai-nilai dan norma-norma. Stuktur sosial adalah dominasi sekelompok kecil dan kepatuhan serta ketundukan sebagaian besar warga masyarakat atas dominasi kelompok kecil tersebut. hukum dan undang-undang dalam masyarakat adalah ciptaan kelompok kecil, elit, dan kelompok yang memerintah untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hukum dan undang-undang terutama ditujukan untuk melindungi milik-milik pribadi dan kepentingan.
            Model ini memandang positif perubahan-perubahan yang memandang konflik sebagai sumber-sumber potensial bagi perubahan sosial yang progresif. Penganut model ini selalu mempertanyakan struktur sosial yang sudah ada. Mereka tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup dan berprestasi dalam stuktur sosial yang sudah ada sebagaimana ditekankan kaum liberal, tetapi mereka mempersoalkan struktur sosial itu sendiri dan menganggapnya sebagai penyebab kemiskinan. Maka persoalan kultur dan mentalitas orang miskin tidak menarik perhatian penganut model konflik ini, sebab persoalan kultur orang miskin dianggapnya tidak mempersoalkan secara mendasar struktur dan kekuasaan politik yang sudah ada. Bahkan mereka menilai kultur dan mentalitas orang miskin yang digambarkan oleh kaum konservatuf itu disebabkan oleh struktur sosial itu sendiri yang tetap bertahan berpuluh atau ratusan tahun.
            Kaum penganut model menganggap struktur sebagai penyebab kemiskinan, untuk membuat analisis keadaan sosial pertanyaan yang mereka adalah:
-          Kelompok mana yang mendapat untung dari sistem masyarakat yang ada dan kelompok mana yang dirugikan ?
-          Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kompetisi dalam grup dan diantara grup yang ada ?
-          Faktor-faktor mana yang menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah ?

Penganut model ini, melihat masyarakat yang ada sebagai masyarakat massal, yang terdiri dari kelompok elit yang berada di atas massa rakyat banyak yang ada di lapisan bawah yang sama sekali tidak tidak terorganisir sehingga tidak memiliki kekuasaan yang efektif. Rakyat sebagai konsumen media dengan komunikasi dari satu arah  tanpa mampu menanggapi  dan rekasi berarti. Merka tidak menguasai mass media sehingga protes-protes yang mereka sampaikan tidak pernah mampu menyuarakan pendapat mereka. Dalam kepentingan ekonomi orang miskin didesain untuk dilanggengkan kemiskinannya oleh penguasa dan elit, sebab dengan kemiskinan masih ada kerja-kerja kotor yang bisa dikerjakan oleh orang miskin dengan biaya murah—tenaga.
Orang miskin juga dijadikan komoditi politik –kestabilan politik--oleh elit, karena orang miskin kebanyakan tidak tertarik pada bidang politik dan peluang ini digunakan sebagai pendukung suara dalam pemilu.
Orang-orang miskin dibutuhkan sebagai identifikasi pelanggaran-pelanggaran norma dan nilai, kriminal-kriminal yang ditangkap kebanyakan memang dari orang miskin namun sementara kriminal kerah putih (white collar crime) jauh dari penyelidikan apalagi pengadilan.

Jalan Keluar
Hal yng mengarah pada perubahan sosial sebagaimana digariskan menganut model konflik tadi, disini kita temukan garis moderat sampai pada garis yang benar-benar radikal. Garis moderat menghendaki demokrasi partisipatif baik dalam group-group sosial yang ada maupun dalam organisasi-organisasi sebagai tujuan yang harus dicapai oleh setiap masyarakat. Mereka tidak menganggap pentingnya kepemimpinan, sebaliknya mereka yakin bahwa semua orang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mempengharuhi hidup mereka. Mereka menentang segala bentuk birokrasi, pengaturan dari luar. Mereka menginginkan kontrol mahasiswa atas sekolahnya, rakyat atas polisi, buruh atas pabrik mereka. Sedang penganut garis radikal menganjurkan aksi-aksi menentang sistem sosial yang ada umpamanya ketidaktaatan rakyat akan segala aturan yang ada (civil diobedience), sebab mereka ini yakin bahwa tidak mungkin mengadakan perubahan-perubahan lewat saluran-saluran resmi/legal yang ada atau lewat pemilihan-pemilihan umum, saluran-saluran semacam ini mereka anggap tidak efektif.

EPILOG
Studi ini sebenarnya masih begitu terbatas, analisa sosial akan lebih dipahami ketika kita semua mau untuk mengamati segala sesuatu disekitar kita, kehidupan sosial hidup kita sehari-hari. Kemudian adakan sebuah analisis tentang ketidakadilan sosial yang ada didalamnya dan kita akan bisa menyusun action plan untuk menindaklanjuti sebagai aksi nyata untuk menyelamatkan eksploitasi, pembodohan dan penindasan rakyat kecil atau mungkin diri kita sendiri di lingkungan kita sendiri, mungkin juga di kampus dan organisasi ini ???

“MERDEKAKAN DIRI ANDA DARI KETIDAKTAHUAN, KETIDAKMAMPUAN, DAN KETIDAKPEDULIAN TERHADAP KONDISI SOSIAL YANG TIMPANG DI DEPANMATA ANDA, KARNA ANDA TAK LEBIH DARI SEORANG PENINDAS KETIKA ANDA DIAM YANG SAMA ARTINYA IKUT MENIKMATI KETIDAKBERDAYAAN  MEREKA YANG PAPA”


MEMBACA SEJARAH PERGERAKAN

Menuntaskan Transformasi Demokratik Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang samat panjang telah menempatkan sebagai kelompok seterategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Membaca Gerakan Mahasiswa (GM) kontemporer karenanya butuh pembacaan historisnya. Yakni pembacaan atas berbagai konteks dan problematika GM Indonesia sedari kelahirannya. Mulai dari perlawanan atas imperialisme sampai pergulingan rezim dispotis, upaya pendekonstruksian formasi sosial masyarakat, keberadaannya sebagai motor penggerak, pengorganisasian, hingga visi strategis GM. Singkatnya, riset ini difokuskan pada dialektika pergerakam pemuda dan mahasiswa sepanjang sejarah keindonesiaan, yakni rentang waktu 1900-an hingga 2003 (kekinian). Vareabel penjelasnya ditekankan pada dua wilayah, yakni konteks yang mengerangkai (Global-Nasional-Lokal) dan aktor pergerakan. Kebangkitan Nasional 1908 menjadi penanda salah satu tonggak sejarah kebangsaan. Namun dia tentunya dilatari setting sosial tertentu. Pelacakannya bisa diruntut pasca pemberlakuan politik etis, walaupun ada beberapa peristiwa penting yang mengintrodusir terjadinya "Ledakan" pergerakan di masa ini. Sebagaimana diketahui, sejak revolusi pengatahuan-teknologi era Renaissance di Barat, memacu perubahan besar pada tatanan Dunia. Persaingan antara Negara bangsa di Eropa melalui pencarian Dunia baru yang di iringi praktek imperialisme. Indonesia tidak luput dari proses ini ketia masuknya bangsa Portugis, Belanda,hingga Jepang. Belanda masuk sejak Tahun 1596-Cornelis De Houtman di Banten – dan puncaknya pada masa kekuasaan VOC-kongsi dagang pemerintah Belanda-VOC melalui eksploitasinya Tahun 1602 di bawah komando Gubernur Jendral Hindia Belanda, J.P Coen (meminpin 1619-1623 dan 1627-1629). Dari yang tadinya praktek monopoli "alamiah" dalam perdagangan rempah-rempah, hingga penggunaan kekuatan politik, yakni masa culture stelsel (culture system,culture system, cultivation system, tanam paksa) dan seterusnya. Culture stelsel dilakukan karena pailitnya VOC (31-12-1799). Sebelumnya Hindia Belanda sempat dibawah jajahan Inggris selama lima Tahun (1811-1816) di bawah Sir Thomas Stanford Raffles. Tanam paksa kurang lebih selama 40 Tahun (1830-1870) di bawah gubernur jendral Van Den Bosch. Cara eksploitasi model Culture Stelsel ini sendri dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah Belanda untuk menutup kas Negara untuk membiayai peperangan yang terjadi di Eropa. Keterlibatan negera secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di daerah koloni karenanya di butuhkan. Berikutnya, revolusi februari 1848 di Perancis mengintrodusir pergeseran gagasan ekonomi-politk di Belanda termasuk Hindia Belanda di dalamnya. Liberalisme ekonomi adalah anak kandeng revolusi ini. Yang melalui desakan dari golongan liberal (F. Van De Putte, De Waal, Thorbecke, dll) serta golongan humanis melalui E. Douwess Dekker (1812-1979) di Belanda. Politik Etis Kemenagan kaum liberal di Belanda berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik etis. Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum liberal untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter melaui “Een Eerreschuld” (Debt of Honourl) utang budi, dalam majalah De Gids 1899, mengkritik kebijakan kolonial yang tidak memperhatikan kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto, 1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di tuangkan dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik dari politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina. Bagi kaum liberal Belanda, politik etis secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan emigrasi. Dalam tafsir ini, politik etis adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan Negara jajahan dalam kerangka kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat di lihat dari sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya lebih menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi (perlindungan dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan akses, dan mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari transformasi eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung, yang menjadi sasaran trans migrasi. Namun demikian implementasinya tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai untuk melawan Belanda. Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan berbagai perlawanan, dari yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari faktor internal dan eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan (rasa senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah memberi jalan kesatuan bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju; konsolidasi bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan; pergerakan Nasional sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan; inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor eksternalnya: kemenagan Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi kaum muda Turki 1908 (Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat Sen) dan sebagainya (G. Moedjanto: 26). Begitu politik etis dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau Sekolah Dokter Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arts - STOVIA) (Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program politik etis yang lain, yakni transmigrasi dan irigasi. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarak pribumi. Gerakan di masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan mahasiswa-Dr. Wahidin Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah “Retnodoemilah” yang di terbitkan di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di pimpin oleh F.L Winter, seorang ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati, Sleman Yogyakarta (W. 26 mei 1916) di Yogyakarta. Pada Tahun 1906 ia keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan tercapai dengan ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa (studiefonds), untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan wahidin tidak di sukai oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi. Tahun1907, di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam pemuda dan mahasiswa, yakni budi utomo 20 mei Tahun 1908. personelnya di ketuai oleh dr. sutomo (lahir didesa ngapeh, nganjuk, jatim, 30 juli 1888), gunawan mangun kusumo (wakil ketua), dan dan gondo sowarno (sekretaris). Pada Tahun 1924 ia juga mendirikan Sutdie Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam persatuan bangsa Indonesia (PBI) pada 16 oktober 1930, cara PBI dalam menghadapi penerintahahn kolonial Belanda memilih jalan tengah antara jalur kooperatif atau non kooperataf. Atas prakarsanya pada Tahun 1935 budi utomo dan PBI disatukan dalam wadah partay Indonesia raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah bekerja sama dengan ir. Soekarno membentuk badan pederasibernama PPPKI (permufakatan perhimpunan politik kebangsaan indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI juga memiliki kontri bwsi besar bagi terlaksananya kongres Indonesia raya Tahun 1928 dan 1931 di Surabaya dimanan sutomo mwnjadi ketuanya. Pada dasawarsa 1920-an perlawanan di Jawa terbagi menjadi tiga front, yaitu front Jakarta yang dipimpin oleh husni tamrin, front bandung yang dipimpin oleh sukarno, dan front Jawa timur yang di pimpin oleh sutomo, yang meminpin dan banyak sekali menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan seperti “suara umum, tempo, majalah bangun, dan sebagainya”. Masih diTahun 1908, sutomo di gantikan Rd. Adiati tirtokusumo melalui kongres budi utomo I (11 oktober 1909) bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa kama budi utomo akan kesulitan dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di serahkan pada kalangan para priyayi. Tirto kusumo meminpin budi utomo mulai Tahun 1908-1914 (2 priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915, R.M. Ario suryosaputro Tahun 1915-1916, R.M. Ario wuryonigrat. Kepemimpinan golongan priyayi membawa budi utomo pada karakter perlawanan yang cenderung kooperatif dengan pihak kolonial. Sebagai varian gerakan, budi utomo membuat “organ taktis” yakni tri koro dharmo (berdiri 7 maret 1915) yang diketuai oleh sutiman wryosanjoyo dan beranggotakan sunardi (wongso negoro), sutomo, muslch, musoda, dan abdul rahman. Walaupun asasnya bersifat Nasional dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran “Hindia”, namun anggotanya adalah murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa tengah dan Jawa timur saja. Trikoro dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries. Namun demikian dari organisasi ini dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada kongresnya di solo, 12 jini 1918, trikoro dharmo berubah menjadi jong java yang corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa sunda. Konteks situasi Nasional pada saat itu samangat pergerakan untuk merebut kemerdekaan. Selama eksis, jong java telah mampu menjadi salah satu bagian pentinga dalam pergerakan Nasional. Trikoro dharmo secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan (Jawa sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan tidaklah berneda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu 1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Sebagai elemin pelopor atau perintis trikoro dharmo menjadi referensi gerakan didaerah lain. Pergantian nama menjadi jong java mengakhiri stigma “Jawa sentris”. Inilah usaha memperlias cakupan dan orientasi pergerakan. Didaerah lain organisasi-organisasi seruapun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan seperti jong sumatranen bond/jbs (1917), jong Celebes (1918), jong minahasa (1918-1928), jong batak bond (1925). Yang agak berbeda adalah jong islamieten bond (JIB) Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih particular- kecendrungan kebutuhan menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih luas (Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang mrnjadi daya dorong pergerakan secara formal dikalangan pemuda. Inilah kecendrungaan yang mampu melahirkan jong Indonesia di bandung pada tanggal 27 februari 1927 (hasi keputusan kongres pemuda I, 30 april 1926), sumpah pemuda (SP) sring disebut sebagai generasi penegas atau pendobrak-tanggal 26-28 oktober 1928. namun ini tentunya lebih nersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di nafikan arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. “manifesto politik” perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang dimuat Hindia poetra, edisi maret 1923, telah mengintrodusir gagasan kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri dlam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun nusantara, 2000:139-140). Masa 1928-1939 SP 1928 menjadi referensi orientasi persatuan Nasional bagi pergerakan mahasiswa dan pemuda waktu itu, seperti munculnya Indonesia muda (IM) Tahun 1930 sebagai hasil peleburan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (JSB, JC, JM, SR, dan yang lainnya). IM dipelopori oleh perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dalam perjalannya, banyak organ ini tidak terlepas dari intrik dan friksi internal serta intervensi kolonial melalui tindakannya yang represif. Pada kasus IM, persoalan eksternal dan internal ersebut mampu mendomestifikasikannya hingga gagal memberikan kontribusi signifikan. Realitas ini mendorongan banyaknya anggota IM keluar dan membentuk organ lainnya seperti soeleh pemuda Indonesia (SPI) dan pergerakan pemuda revolusioner (PERPIRI), dan di kemudian waktu juga mengalami problem sama. Kevakuman grakan pemuda di tingkat Nasional sudah mulai terlihat. Vakumnya IM dan organ-organ lainnya telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan Nasional. Kevakuman dan krisis pergerakan yang sharusnya terkait dengan konteks eksternal, seperti malaise ekonomi Dunia Tahun 1929/1930, pembatasan hak berkumpul dan berserikat (pengawasa polisi) dalam rapat-rapat partai, larangan pegawai dalam birokrasi untuk menjadi anggota partai politk, cap Ilegal bagi organ yang di angggap bertentangan dengan lae and order (koninklijk besluit, 1 september 1919). Situasi represif inipun banyaknya pergerakan pemuda Nasional yang di asingkan (sokarno,hatta dan syahrir) setiap organ dituntut memiliki daya tahan jaka ingin bertahan dan dipaksa menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah (G. Moedjanto, 1992:57). Banyak penyiasatan kemudian butuh di lakukan untuk merespon refresif ini. Banyak dari mereka kemudian bertransformasi menjadi studie club. Wilayah gerakan sangat cultural, yakni berupa aksi-aksi penyadaran masyarakat akan arti penting pergerakan, persatuan, pendidikan dan lainnya yang secara cultural bermanfaat bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar, atau majalah (seperti soeleh rakyat, soeleh indonesia) adalah tren baru pergerakan. Di waktu kemudian trend study club ini menjadi usang dalam konteks sosial politik yang berubah. Embrio revolusioner dalam pergerakan cultural mulai membutuhkan ruang ruang sosial untuk “uji materielnya.” Banyak kemudian dari mereka menjadi partai politik seperti algemeene studie club-nya sukarno berubah menjadi partai bangsa Indonesia (PBI) dan lau partai Nasional Indonesia (PNI) pada Tahun 1927. pergeseran ini kemudian diikuti oleh partai-partai baru seperti partai Indonesia raya (PARINDRA)-eks budi utomo, gerakan rakyat Indonesia (GARINDO), dan puncaknya adalah terbentuknya gabungan politik Indonesia (GAPI) pada Tahun 1939. Masa pendudukan Jepang (1942-1945) Pada masa Jepang hampir semua gerakan pemuda dan mahasiswa di bubarkan. Mereka kemudian di mobilisasi dalam mewujudkan Program Asia Timur Raya Jepang. Situasi ketidakamanan akan bahaya perang, memaksa Jepang untuk tidak memberikan ruang politik yang luas, bagi kebutuhan pengorganisasian dukungan. Konsekwensinya, para pemuda di masukkan kedalam barisan-barisan pelopor ketentaraan Jepang, seperti seinendan, keibodan, heiho, dan lainnya. Sebagian lainnya di beri lebel “kebangsaan” seperti pembela tanah air (PETA). Mereka ini, dalam propaganda Jepang, nantinya akan menjadi tulang punggung kemerdekaan. Walaupun sesungguhnya keberadaan mereka tidak lebih sebagai penyiapan bala bantuan Jepang untuk menunjang meliter Jepang pada perang pasifik. Dimulailah era baru pergerakan, yakni era pergertakan bawah tanah. Era ini dikenal sebagai era kejayaan gerakan illegal seperti selebaran, kurpol-kurpol, dan propaganda. Hanya saja seperti nanti dicatat di bawah, gerakan bawah tanah ini di kombinasikan dengan cantik dengan gerakan illegal yang dipimpin sukarno. Salah satu hasil kalaborasi ini adalah keberahasilan pengorganisasian massa pada demonstrai massa di lapangan Ikada. Seperti di sebutkan di atas tidak semua gerakan kepemudaan dan mahasiswa tirap. Kekuatan politik yang di mainkan masih di pertahankan, hanya sajaj dicitrakan agak jauh dari oposisi. Cara yang kedua inilah yang di perankan antara lain oleh sukarno, hatta, dan lainya. Sementara di kubu yang pertama, nama tan malak barangkali yang paling tersohor. Pergeseran yang cukup berarti, terlihat di masa-masa akhir pendudukan Jepang. Kekalahan tentara Jepang oleh sekutu di beberapa tampat, yang didengar oleh aktivis pergerakan Nasional, dapat menjadi buneranga bagi cara politik refresif yan gdigunakan. Putera yang tadinya hendak digunakan ssebagai organ korporatis Jepang, mulai mampu menunjukkan karakter oposisinya. Ini memaksa Jepang untuk lebih akomodatif pada kepentingan politik pergerakan kemerdekaan Nasional. Pembentukan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI adalah contoh terbaik politik akomodatif Jepang di sat-saat akhir pendudukan. Pasca kemerdekaan Tahun 1955 merupakan Tahun ke-5 indonesia menganut system demukrasi liberal (demukrasi parlementer). Eksprimentasi yang kemudian di anggap gagal, karena tidak adanya pemerintah (partai/koalisi partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen) yang mampu bertahan lama (rerata kurang dari 5 Tahun, terlamam tidak lebih dari 2 Tahun) . Enpat parai besar pemenag pemilu 1950, yakni PNI,masyumi, NU, dan PKI, tidak ada yanga meraih mayoritas. Instabilitas politik ini di perparah oleh keterlibatan meliter dalam panggung politik. Rasionalisasi di tubih meliter yang tadinya dimaksudkan untuk memprofesionalkan keberadaannya tidak terkomonikasikan dengan baik. Pasca agresi meliter Belanda I dan II, rencana “pecah belah” dalam model RIS, yang menandai keinginan Belanda (dan sekutu) untuk berkuasa kembali di Indonesia, memunculakan persepsi di ubuh meliter akan kewajiban menjaga kesatuan Nasional. Carut-marut tersebut di perparah keterlibatan elit sipil yan gmencampuri internal meliter. Singkatnya, dalam perspektif meliter, Pertama, menolak intervensi sipil dalam urusan internal meliter (seperti kasus pelantikan bambang otoyo sebagai KSAD), dan kedua, melihat instabiitas politik adalah karakter dasar dari kepemimpinan politik sipil. Walaupun, sesungguhnya yang lebih dominan adalah yang pertama, sedangkan yang kedua akan menjadi bahan yang makin akumolatif di kemudian waktu. “pembangkangan” awal meliter teahdap kepemimpinan sipil, didemonstrasikan dalam pagelaran pasukan di depan istana Negara di bawah komando A.H. Nasutin, di tengah pidato presiden sukarno pada tanggal 17 oktober 1952. inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut hingga di kemudian hari. Kesemuanya berimplikasi pada instabilitas politik yang dalam konteks Negara baru seringkali tidak menguntungkan. Krisis politik ini di perparahatau di matangkan oleh kerisis ekonomi yang diawali sekitar 1954-1959 (yang akan semakin parah di Tahun-Tahun berikutnya). Tingkat insplasi tinggi-yang merupakan indicator makro stabilitas ekonomi-menurunkan tingkat daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Namun tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahtraan di ukur, senyatanya persoalan kemiskinan belum tertanggulangi. Dalam disertasinya, Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa suplai uang, devisit anggaran, dan biaya hidup meningkat sekitar tiga kali lipat.

GENEOLOGI PMII

Cikal Bakal Berdirinya PMII Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari kemauan yang kuat dari mahasiswa Nahdliyyin, yang ada pada saat itu tidak biasa dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU karena secara histories PMII merupakan mata rantai dari perguruan tinggi IPNU yang di bentuk pada muktamar ke III IPNU di Cerebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Puncak dari perjungan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Kaliurang Yogyakarta pada Tanggal 14-17 Maret 1990 dan akhirnya di bentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada Tanggal 14-16 April 1990 dengan limit waktu satu bulan setengah setelah keputusan di Kaliurang. banyak usulan nama yang disampaikan di antaranya adalah IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlotul Ulama) dari Jakarta, Persatuan Himpunan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari delegasi Bandung dan Surabaya, dari ketiga usulan nama tersebut akhirnya PMII-lah yang disetujui oleh forum pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Semenjak proses kelahirannya, PMII pada waktu itu secara structural masih menjadi Underbouw NU di bawah IPNU dan nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, karena kondisi social politik pada waktu itu patronase, gerakan mahasiswa masih menjadi bagian dari gerakan politik. Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “Pergerakan” adalah bahwa mahasiswa sebagai insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah Fil Ard, kata “Mahasiswa” yang terkandung di dalamnya adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berfikir, bersikap, dan beritndak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, akademis, social, dan dan insan mandiri. Kata “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah islam sebagai agama pembebas terhadap fenomina realitas social dengan paradigma ahlussunnah wal jamaah yang itu konsep pendekatan terhadap ajaran agama islam secara profesional antara Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir prilaku tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif, dan dan integratif. Sedangkan makna dari kata “Indonesia” yang terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah idiologi bangsa (pancasila) dan UUD 1945 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran akan wawasan nusantara. B. Reformulasi dan Reorientasi Pergerakan PMII Pada awal berdirinya PMII masih menjadi anderbouw NU baik secara structural (IPNU) maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi politik sangat panas dan banyak dari organisasi mahasiswa berafiliasi dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan partai, jadi gerakan PMII masih cenderung kepolitik praktis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972. Dalam perjalanan sejarahnya terus mengadakan refleksi aksi, gerakan yang selama ini diambilnya untuk menjadi cermin transformatif bagi gerakan-gerakan PMII di masa yang akan datang. Keterlibatan PMII dalam politik praktis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 akhirnya sangat merugikan PMII itu sendiri sebagia organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII mengalami banyak kemunduran dalam segala aspek gerakan. Hal ini juga berakibat buruk terhadap cabang PMII di beberapa daerah. Kondisi ini akhirnya menyadarkan PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang selama ini di lakukannya, khususnya dalam dunia politik praktis. Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar (MUBES) tanggal 14-16 juli 1972 PMII mencetuskan deklarasi independen di Munarjati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang lebih dikenal dengan “Deklarasi Menarjati”. Sejak saat itulah PMII secara formal structural berpisah dengan NU. Dan langsung membuka akses dan ruang yang sebear-besarnya tanpa berpihak pada salah satu partai politik apapun. Hingga kini independensi itu masih di pertahankan dan di pertegas dengan penegasan Cibogo pada tanggal 8 Oktober 1998. Bentuk dari independensi itu sebagai upaya merespon dan moderennitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idialisme yang dijiwai oleh ajaran Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sampai kemudian PMII melakukan reformulasi gerakan pada kongres X PMII pada tanggal 27 oktober 1991 di asrama haji pondok gede Jakarta. Pada kongres tersebut ada keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU yang akhirnya melahirkan pernyataan “deklarasi interdependensi PMII-NU” penegasan hubungan itu di dasarkan pada pemikiran antara lain: Adanya ikatan kesejarahan yang mempertautkan PMII dengan NU. Adapun kehidupan PMII menyatakan dirinya sebagai organisasi independen, hendaknya tidak di pahami secara sempit sebagai upaya mengurangi apalagi menghapus arti ikatan kesejahteraan tersebut. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi bangsa Indonesia. C. Menata Gerakan PMII Perubahan dalam system politik nasional yang pada akhirnya membawa dampak pada dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII sendiri, di samping sifat kritis yang sangat di butuhkan mendorong para aktivis PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa sebagai agent of social change. Sebenarnya pada era tahun 1980-an, PMII mulai serius masuk dan melakukan advokasi-advokasi terhdap masyarakat serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada dua momentum yang ikut mewarnai pergulatan pergerakan PMII pada wilayah kebangsaan. Penerimaan pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal Kembalinya NU ke khitthah 1926 pada tahun 1984. pada saat itu PMII mampu memposisikan peran yang sangat setraegis karena: 1) PMII memberikan priorotas kepada pengembangan intelektualitas. 2) PMII menghindari dari praktek politik praktis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil society. 3) PMII lebih mengembangkan sifat kritis terhadap negera. Pada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposisi gerakan yang akhirnya menghasilkan Nalai Dasar Pergerakan (NDP). Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan diskursif-diskursif serta isu-isu penting seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritis dan pos-modernisme. Seiring naiknya gus Dur menjadi orang nomor wahid keempat di Indonesia secara serta merta aktivis PMII mengalami kebingungan apakah civil society harus berakhir ketika gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simpul tali pejuangan civil society naik ketampuk kekuasaan. Dan ketika gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian diganti dengan pradigma Kritis Transformatif. Pernyataan yang timbul bagaimana kita sebagai kader PMII harus bersikap? Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII pada khususnya untuk berfikir kritis pada setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada rakyat kecil dan cenderung menginjak begitupun secara mikro kebijakan yang ada dilingkungan tempat tinggal kita. Selanjutnya setelah itu, kita sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik serta responsive terhadap realitas social yang ada. Landasan-landasan dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Landasan filosofis PMII adalah nilai dasar pergerakan (NDP) yang disitu ada hablum minallah (Hubungan Manusia dengan Tuhan), hablum minannans (Hubungan Manusia dengan Manusia), dan hablum minal alam (Hubungan Manusia dengan Alam). Landasan berfikir PMII adalah ASWAJA yang didalamnya ada tasamuh (toleransi), tawazun (proporsional/keseimbangan), tawassuth (moderat), ta’addul (keadilan), yang dijadikan manhajul al-fikr (metodologi berfikir) dan sebagai instrumen perubahan. Landasan pradigmatisnya adalah Pradigma Kritis Transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan perubahan yang lebih baik di semua bidang. Ketiga landasan itulah yang dujadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII. ASWAJA DAN NDP ASWAJA dalam pemahaman PMII Kita pernah tahu bahwa ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA) adalah mazhab keislaman yang menjadi dasar jami’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU) sebagai manhajul al-fikr yang di rumuskan oleh hadhratus syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qunun Asasi. Yaitu: Dalam Ilmu Aqidah/ teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam Syariah/Fiqh mengikuti salah satu empat Imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal). Dalam Tasyawuf/Akhlaq mengikuti salah satu dari dua Imam yaitu: Junaid Al-Baghdhadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Namun pemahaman seperti ini tidak memadai untuk di jadiakan pijakan gerak PMII. Sebab, pemahaman yang demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa di otak-atik lagi. Pemaknaannya hanya di batasi pada produk pemikiran saja. Sedangkan produk pemikiran secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar pergerakan, Aswaja harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan pada konteks saat ini dan yang akan datang inilah yang dinamakan idiologi terbuka. PMII memaknai aswaja sebagai Manhajul Fikr yaitu sebagi metode berfikir yang digariskan oleh sahabat-sahabat nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi social politik yang meliputi masyarakat muslim saat itu. Dari Manhajul Fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik bidang akidah, syari’ah, maupun akhlak/tasawuf, yang walaupun beranekaragam tetap berada dalam satu ruh. PMII juga memakai aswaja sebagai Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i yaitu pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rosulullah dan para sahabat-sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat yang mayoritas muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai Manhajul Fikr atau Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i adalah sebagaimana di sabdakan Rosulullah: Maa Anaa ‘Alaihi Wa Ash Habi (segala sesuatu yang datang dari rosul dan sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nalai: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (propesional/keseimbangan) dan ta’addul (keadilan). NILAI-NILAI ASWAJA DAN ARUS SEJARAH Tawassuth Tawasuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat tidak ekstrim (baik kekanan maupun kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul Umur aw Satuha (muderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawasuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaiman seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Aqidah yang tawasuth adalah aqidah yang di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta (menomor duakan al-Quran dan Sunnah Rasul), disisi lain menempatkan akal sebagai alat untuk berfikir dan menafsirkan al-Quran dan as-Sunnah. Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist, namun pemahamannya tidak hanya bersandar pada tradisi, juga tidak kepada rasionalitas akal belaka. Tasawuf yang tawasuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakekat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah atau sebaliknya. Tasawuf yang tawasuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Filsafat yang tawasuth pemikiran logis yang tidak mempertentangkan konsep-konsep filosofis kebenaran agama (al-Qur’an dan Hadist). Dengan kata lain menjadikan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist sebagai pemandu pemikiran filosofis. Tasamuh Tasamuh adalah toleran, Tepa Selira (bhs. Jawa). Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memakasakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagainan kita bersikap dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermaysarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran pluralisme atau keeagaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh di realisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat tasamuh terwujud dalam perbuata-perbuatan demokratis yang tidak mementingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang di penuhi oleh kerukunan, sikap saling menghormati, dan hormat-menghormati. Di wilayah kebudayaan tasamuh hadir dalam bentuk usaha menjadikan perbedaan ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagia élan yang dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan tersebut berhasil di rekatkan dalam sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, beraneka ragaman, saling melengkapi. Unity in diversity Tawaazun Keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antara individu, antar struktur social, antar negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Bentuk hubungan disini yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai fungsinya tanpa harus mengganggu fungsi oranglain. Hasil yang diharapkan adalah kedinamisan hidup. Dalam ranah social yang ditekankan adalah egaliterialisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari pada yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitas seseorang kepada orang lain. Termasuk laki-laki terhadap perempuan. Dalam wilayah poitik tawazun meniscayakan antara posisi negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenag-wenag menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi peraturan yang di tujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga harus senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam wilayah ekonomi tawazun meniscayakan pembangunan system ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar, dan mayarakat. Fungsi negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran nofal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan menguntrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah pendistribusian produk yang memposisikan konsumen serta produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat khususnya (konsumen) adalah menciptakan lingkunagn ekonomi yang kondusif, yang didalamnya tidak ada monopoli,dan disisi yang lain mengontrol kerja negara dan pasar. Ta’adul/ ’Adalah Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keaaadilan, yang merupakan pola integral dari tasamuh, tawazun, dan tawasuth. Keadilan ilmiah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan ssosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagimana Nabi Muhammad bisa dan mampu mewujudkan dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundemen bagi kehidupan masyarkat Islam yang agung. Cikal Bakal Berdirinya PMII Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari kemauan yang kuat dari mahasiswa Nahdliyyin, yang ada pada saat itu tidak biasa dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU karena secara histories PMII merupakan mata rantai dari perguruan tinggi IPNU yang di bentuk pada muktamar ke III IPNU di Cerebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Puncak dari perjungan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Kaliurang Yogyakarta pada Tanggal 14-17 Maret 1990 dan akhirnya di bentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada Tanggal 14-16 April 1990 dengan limit waktu satu bulan setengah setelah keputusan di Kaliurang. banyak usulan nama yang disampaikan di antaranya adalah IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlotul Ulama) dari Jakarta, Persatuan Himpunan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari delegasi Bandung dan Surabaya, dari ketiga usulan nama tersebut akhirnya PMII-lah yang disetujui oleh forum pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Semenjak proses kelahirannya, PMII pada waktu itu secara structural masih menjadi Underbouw NU di bawah IPNU dan nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, karena kondisi social politik pada waktu itu patronase, gerakan mahasiswa masih menjadi bagian dari gerakan politik. Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “Pergerakan” adalah bahwa mahasiswa sebagai insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah Fil Ard, kata “Mahasiswa” yang terkandung di dalamnya adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berfikir, bersikap, dan beritndak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, akademis, social, dan dan insan mandiri. Kata “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah islam sebagai agama pembebas terhadap fenomina realitas social dengan paradigma ahlussunnah wal jamaah yang itu konsep pendekatan terhadap ajaran agama islam secara profesional antara Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir prilaku tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif, dan dan integratif. Sedangkan makna dari kata “Indonesia” yang terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah idiologi bangsa (pancasila) dan UUD 1945 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran akan wawasan nusantara. B. Reformulasi dan Reorientasi Pergerakan PMII Pada awal berdirinya PMII masih menjadi anderbouw NU baik secara structural (IPNU) maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi politik sangat panas dan banyak dari organisasi mahasiswa berafiliasi dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan partai, jadi gerakan PMII masih cenderung kepolitik praktis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972. Dalam perjalanan sejarahnya terus mengadakan refleksi aksi, gerakan yang selama ini diambilnya untuk menjadi cermin transformatif bagi gerakan-gerakan PMII di masa yang akan datang. Keterlibatan PMII dalam politik praktis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 akhirnya sangat merugikan PMII itu sendiri sebagia organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII mengalami banyak kemunduran dalam segala aspek gerakan. Hal ini juga berakibat buruk terhadap cabang PMII di beberapa daerah. Kondisi ini akhirnya menyadarkan PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang selama ini di lakukannya, khususnya dalam dunia politik praktis. Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar (MUBES) tanggal 14-16 juli 1972 PMII mencetuskan deklarasi independen di Munarjati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang lebih dikenal dengan “Deklarasi Menarjati”. Sejak saat itulah PMII secara formal structural berpisah dengan NU. Dan langsung membuka akses dan ruang yang sebear-besarnya tanpa berpihak pada salah satu partai politik apapun. Hingga kini independensi itu masih di pertahankan dan di pertegas dengan penegasan Cibogo pada tanggal 8 Oktober 1998. Bentuk dari independensi itu sebagai upaya merespon dan moderennitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idialisme yang dijiwai oleh ajaran Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sampai kemudian PMII melakukan reformulasi gerakan pada kongres X PMII pada tanggal 27 oktober 1991 di asrama haji pondok gede Jakarta. Pada kongres tersebut ada keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU yang akhirnya melahirkan pernyataan “deklarasi interdependensi PMII-NU” penegasan hubungan itu di dasarkan pada pemikiran antara lain: Adanya ikatan kesejarahan yang mempertautkan PMII dengan NU. Adapun kehidupan PMII menyatakan dirinya sebagai organisasi independen, hendaknya tidak di pahami secara sempit sebagai upaya mengurangi apalagi menghapus arti ikatan kesejahteraan tersebut. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi bangsa Indonesia. C. Menata Gerakan PMII Perubahan dalam system politik nasional yang pada akhirnya membawa dampak pada dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII sendiri, di samping sifat kritis yang sangat di butuhkan mendorong para aktivis PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa sebagai agent of social change. Sebenarnya pada era tahun 1980-an, PMII mulai serius masuk dan melakukan advokasi-advokasi terhdap masyarakat serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada dua momentum yang ikut mewarnai pergulatan pergerakan PMII pada wilayah kebangsaan. Penerimaan pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal Kembalinya NU ke khitthah 1926 pada tahun 1984. pada saat itu PMII mampu memposisikan peran yang sangat setraegis karena: 1) PMII memberikan priorotas kepada pengembangan intelektualitas. 2) PMII menghindari dari praktek politik praktis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil society. 3) PMII lebih mengembangkan sifat kritis terhadap negera. Pada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposisi gerakan yang akhirnya menghasilkan Nalai Dasar Pergerakan (NDP). Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan diskursif-diskursif serta isu-isu penting seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritis dan pos-modernisme. Seiring naiknya gus Dur menjadi orang nomor wahid keempat di Indonesia secara serta merta aktivis PMII mengalami kebingungan apakah civil society harus berakhir ketika gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simpul tali pejuangan civil society naik ketampuk kekuasaan. Dan ketika gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian diganti dengan pradigma Kritis Transformatif. Pernyataan yang timbul bagaimana kita sebagai kader PMII harus bersikap? Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII pada khususnya untuk berfikir kritis pada setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada rakyat kecil dan cenderung menginjak begitupun secara mikro kebijakan yang ada dilingkungan tempat tinggal kita. Selanjutnya setelah itu, kita sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik serta responsive terhadap realitas social yang ada. Landasan-landasan dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Landasan filosofis PMII adalah nilai dasar pergerakan (NDP) yang disitu ada hablum minallah (Hubungan Manusia dengan Tuhan), hablum minannans (Hubungan Manusia dengan Manusia), dan hablum minal alam (Hubungan Manusia dengan Alam). Landasan berfikir PMII adalah ASWAJA yang didalamnya ada tasamuh (toleransi), tawazun (proporsional/keseimbangan), tawassuth (moderat), ta’addul (keadilan), yang dijadikan manhajul al-fikr (metodologi berfikir) dan sebagai instrumen perubahan. Landasan pradigmatisnya adalah Pradigma Kritis Transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan perubahan yang lebih baik di semua bidang. Ketiga landasan itulah yang dujadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII. ASWAJA DAN NDP ASWAJA dalam pemahaman PMII Kita pernah tahu bahwa ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA) adalah mazhab keislaman yang menjadi dasar jami’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU) sebagai manhajul al-fikr yang di rumuskan oleh hadhratus syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qunun Asasi. Yaitu: Dalam Ilmu Aqidah/ teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam Syariah/Fiqh mengikuti salah satu empat Imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal). Dalam Tasyawuf/Akhlaq mengikuti salah satu dari dua Imam yaitu: Junaid Al-Baghdhadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Namun pemahaman seperti ini tidak memadai untuk di jadiakan pijakan gerak PMII. Sebab, pemahaman yang demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa di otak-atik lagi. Pemaknaannya hanya di batasi pada produk pemikiran saja. Sedangkan produk pemikiran secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar pergerakan, Aswaja harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan pada konteks saat ini dan yang akan datang inilah yang dinamakan idiologi terbuka. PMII memaknai aswaja sebagai Manhajul Fikr yaitu sebagi metode berfikir yang digariskan oleh sahabat-sahabat nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi social politik yang meliputi masyarakat muslim saat itu. Dari Manhajul Fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik bidang akidah, syari’ah, maupun akhlak/tasawuf, yang walaupun beranekaragam tetap berada dalam satu ruh. PMII juga memakai aswaja sebagai Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i yaitu pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rosulullah dan para sahabat-sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat yang mayoritas muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai Manhajul Fikr atau Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i adalah sebagaimana di sabdakan Rosulullah: Maa Anaa ‘Alaihi Wa Ash Habi (segala sesuatu yang datang dari rosul dan sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nalai: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (propesional/keseimbangan) dan ta’addul (keadilan). NILAI-NILAI ASWAJA DAN ARUS SEJARAH Tawassuth Tawasuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat tidak ekstrim (baik kekanan maupun kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul Umur aw Satuha (muderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawasuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaiman seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Aqidah yang tawasuth adalah aqidah yang di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta (menomor duakan al-Quran dan Sunnah Rasul), disisi lain menempatkan akal sebagai alat untuk berfikir dan menafsirkan al-Quran dan as-Sunnah. Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist, namun pemahamannya tidak hanya bersandar pada tradisi, juga tidak kepada rasionalitas akal belaka. Tasawuf yang tawasuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakekat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah atau sebaliknya. Tasawuf yang tawasuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Filsafat yang tawasuth pemikiran logis yang tidak mempertentangkan konsep-konsep filosofis kebenaran agama (al-Qur’an dan Hadist). Dengan kata lain menjadikan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist sebagai pemandu pemikiran filosofis. Tasamuh Tasamuh adalah toleran, Tepa Selira (bhs. Jawa). Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memakasakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagainan kita bersikap dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermaysarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran pluralisme atau keeagaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh di realisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat tasamuh terwujud dalam perbuata-perbuatan demokratis yang tidak mementingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang di penuhi oleh kerukunan, sikap saling menghormati, dan hormat-menghormati. Di wilayah kebudayaan tasamuh hadir dalam bentuk usaha menjadikan perbedaan ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagia élan yang dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan tersebut berhasil di rekatkan dalam sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, beraneka ragaman, saling melengkapi. Unity in diversity Tawaazun Keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antara individu, antar struktur social, antar negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Bentuk hubungan disini yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai fungsinya tanpa harus mengganggu fungsi oranglain. Hasil yang diharapkan adalah kedinamisan hidup. Dalam ranah social yang ditekankan adalah egaliterialisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari pada yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitas seseorang kepada orang lain. Termasuk laki-laki terhadap perempuan. Dalam wilayah poitik tawazun meniscayakan antara posisi negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenag-wenag menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi peraturan yang di tujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga harus senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam wilayah ekonomi tawazun meniscayakan pembangunan system ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar, dan mayarakat. Fungsi negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran nofal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan menguntrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah pendistribusian produk yang memposisikan konsumen serta produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat khususnya (konsumen) adalah menciptakan lingkunagn ekonomi yang kondusif, yang didalamnya tidak ada monopoli,dan disisi yang lain mengontrol kerja negara dan pasar. Ta’adul/ ’Adalah Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keaaadilan, yang merupakan pola integral dari tasamuh, tawazun, dan tawasuth. Keadilan ilmiah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan ssosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagimana Nabi Muhammad bisa dan mampu mewujudkan dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundemen bagi kehidupan masyarkat Islam yang agung.

KERUSAKAN TERUMBU KARANG DAN USAHA PENCEGAHANNYa

KERUSAKAN TERUMBU KARANG DAN USAHA PENCEGAHANNYA

PENDAHULUAN
1.             Latar Belakang
Bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa telah diberikan karunia kekayaan berupa keanekaragaman hayati di lautan dalam jumlah yang sangat besar berupa ikan, terumbu karang, kerang, algae dan lain-lain.  Pemerintah telah menggariskan bahwa pembangunan sektor kalautan diarahkan pada pendayagunaan sumberdaya laut tersebut serasi dan seimbang dengan memperhatikan dayadukung kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha.   Terumbu Karang merupakan  ekosistim perairan pantai yang dinamis, namun sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, dan juga  mempunyai produktifitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi,  sehingga menjadi sumber plasma nutfah bagi kehidupan biota laut.  Disamping itu ekositem terumbu karang yang juga merupakan tempat hidup, tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning) bagi berbagai biota laut.
Selain itu ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, yang dapat mencegah terjadinya erosi pantai yang akan mengakibatkan hilangnya asset yang telah diinvestasikan di pesisir, seperti bangunan pariwisata, industri perikanan, pemukiman dan dan tempat-tempat  sakral misalnya Tanah Lot.
Ekosistem Terumbu karang juga mengandung nilai estetika yang tinggi yang menarik minat para wisatawan untuk menyelam.  Terumbu karang juga merupakan sebuah laboratorium laut alami, yang sangat indah dan penuh dengan berbagai bentuk interaksi/hubungan antara berbagai organisme laut, dan hal-hal lain yang sangat menarik namun belum banyak terungkap. (Ginting, S.P. 1998)  
Terdapat banyak biota laut yang hidup didaerah terumbu karang yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, diantaranya yaitu ikan karang.  Sumber daya ikan karang dapat digolongkan menjadi dua yaitu Golongan Ikan Hias (ornamental fish) dan Golongan Ikan Konsumsi  (food fish). Ikan karang merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cerah di Indonesia dalam upaya peningkatan ekspor non migas, meningkatnya permintaan pasar terhadap ikan karang untuk konsumsi dengan harga yang menggiurkan, telah mendorong masyarakat nelayan untuk mengeksploitasi ikan karang sebanyak-banyaknya.  Tetapi dilain pihak, penangkapan ikan karang di daerah terumbu karang seringkali dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan sekitarnya.  Dibeberapa daerah telah menjurus kearah eksploitasi yang berlebihan.  Penggunaan alat tangkap yang efektif, jika tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai akan sifat-sifat biologis dari fauna dan flora yang ada, dapat mengakibatkan kelangkaan bahkan kepunahan sumberdaya alam. (Sadarun, 2001).
Pemanfaatan sumberdaya tersebut dewasa ini semakin berkembang akibat semakin tingginya permintaan akan komoditi yang dihasilkannya, sehingga usaha pemenuhannya dilakukan sebanyak mungkin dan seefisien mungkin. Jenis alat yang dipergunakan dalam pemanfaatan sumberdaya  tersebut semakin berkembang, bahkan cenderung merusak lingkungan; dari yang sederhana (jaring, pancing, linggis) telah berubah kebahan yang lebih modern (peledak, bahan kimia/beracun, trawl).  Sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya laut oleh berbagai kalangan dengan berbagai macam cara dan alat yang dipergunakan, yang sama-sama beroperasi di lautan, maka cara pemanfaatan yang lestari dan yang merusak seolah-olah menjadi kabur.  Ditambah dengan adanya keterbatasan masyarakat luas dalam pemahaman tehadap pemenfaatan lestari sumber kelautan, yang kemudian ditopang pula oleh kecenderungan lebih suka melihat akibat daripada menganalisis penyebabnya, maka telah menimbulkan opini di masyarakat luas bahwa kerusakan sumberdaya pesisir  dan lautan, khususnya terumbu karang, seolah-olah diakibatkan oleh kegiatan perdagangan (eksport) bungan karang.  Oleh karena itu untuk menangani permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan sumberdaya laut  khususnya terumbu karang, perlu dilakukan koordinasi yang lebih mantap, baik instansi pemerintah atau swasta. (AKKII, 1998).
2.             Perumusan Masalah 
Akibat dari pemanfaatan sumberdaya laut oleh berbagai kalangan dengan berbagai macam cara dan alat yang dipergunakan, yang sama-sama beroperasi dilautan, maka cara pemanfaatan yang lestari dan yang merusak seolah-olah menjadi kabur.   sehingga pembangunan sektor kelautan diarahkan pada pendayagunaan sumberdaya laut  tersebut serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha.
3.             Tujuan Penelitian
      Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk mendukung dan mensukseskan kebijakan-kebijakan dalam rangka pengamanan kelestarian terumbu karang dengan kemampuan yang serba terbatas dan juga diharapkan peran serta seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan.  
TINJAUAN PUSTAKA
  1.  Status Terumbu Karang di Indonesia
Panjang garis pantai di Indonesia adalah 80.791 km dengan luas terumbu karang 60.000 km2 (LH. 1992, Walter. 1994).  Sedangkan Tomascik Dkk. 1997 menyebutkan panjang garis pantai 204.000 km dengan luas terumbu karang 85.707 km2.  Terumbu karang di Indonesia dilihat dari struktur geomorfologinya dan proses pembentukannya dapat dibedakan menjadi empat yaitu :
1. Terumbu karang tepi (Fringing reef)
2. Karang Penghalang (Barrier reef)
3. Terumbu karang cincin (Atoll) dan
4.Terumbu karang takat (Patch reef atau Platform reef)
Pertumbuhan karang di Indonesia didominasi oleh karang marga Acropora, Montipora, dan Porites.    Pada data yang diambil dari 416 lokasi di 43 daerah yang tersebar diseluruh perairan Indonesia menunjukkan bahwa 6,49 % karang Indonesia dalam kondisi yang sangat baik, 24,28% dalam kondisi baik, 28,61 dalam kondisi sedang dan 40,62% dalam kondisi buruk.  Terumbu karang yang berada di Indonesia bagian barat kondisinya paling buruk jika dibandingkan dengan Indonesia Tengah dan Indonesia bagian Timur.
  2. Sebaran Terumbu Karang
Sebaran terumbu karang tidak hanya terbatas secara horizontal akan tetapi juga terbatas secara vertikal dengan faktor kedalaman serta struktur substrat dasar.  Pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman.  Faktor-faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air.
Terumbu karang tersebar di laut dangkal di daerah tropis hingga suptropis yaitu diantara lintang 350 lintang utara dan 320 lintang selatan mengelilingi bumi.  Garis lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh.  Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerah-daerah tertentu seperti pulau-pulau yang sedikit mangalami proses sedimentasi atau di sebelah barat dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya arus dingin
Sebaran karang di Indonesia secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut.  Sebaran karang di pantai barat Sumatra dan Jawa Selatan lebih dipengaruhi oleh arus Lutan Hindia.  Keanekaragaman jenis karang didaerah ini relatif rendah dan mirip keanekaragaman yang ada dilautan Hindia (Indian Ocean) secara keseluruhan.  Rendahnya keanekaragaman jenis karang di pantai selatan Jawa oleh karena adanya upwelling yang membawa air dingin dari dasar samudra.  Pertumbuhan karang yang ada di sepanjang deretan Pulau Simeulue sampai Pulau Enggano lebih banyak di pengaruhi oleh substrat dasar yang landai dan terdiri pasir dan lumpur sehingga karang tidak berkembang dengan baik.  
Sebaran terumbu karang disepanjang pantai timur Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa Utara dipengaruhi oleh adanya sedimentasi yang tinggi yang dibawa oleh aliran sungai yang banyak berada disana. Pertumbuhan karang umumnya terdapat di pulau-pulau kecil yang terletak terpisah dari Pulau Utama.  Semakin jauh letaknya dari Pulau Utama semakin baik pertumbuhan karangnya.  Riau kepulauan karang tumbuh hanya pada kedalaman 2-8 meter yang umumnya didominasi oleh karang masive.
Sebaran karang yang tumbuh paling baik dan berkembang secara maksimum adalah di Pulau Sulawesi, Propinsi Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.  Di daerah ini muara sungai relatif sedikit, struktur pantai dan substrat dasar berupa substrat yang keras dan pola arus yang mengalir sepanjang tahun.  Oleh karena adanya arus lintas Indonesia yang berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang yang berasal dari Samudra pasifik menuju Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang sangat baik mulai dari kedalaman 2- 30 m. Keanekaragaman jenis berkembang secara maksimum bahkan sekitar Sulawesi dianggap sebagai pusat keanekaragaman jenis dan pusat asal usul karang. Sirkulasi arus yang baik dan rendahnya sedimentasi merupakan andil yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya terumbu karang secara optimal.  Karang yang tumbuh didaerah NTT dan NTB merupakan terumbu yang lebih banyak dipengaruhi oleh adanya arus pasang surut yang merupakan pertukaran massa air dari Laut Flores dengan lautan Hindia.  NTB dan NTT hanya merupakan pulau yang kering dengan garis pantai yang mempunyai lekuk-lekuk yang dalam sehingga sering ditemukan jenis karang yang bersifat endemik.  Daerah NTB dan NTT sering disebut “refuges” area atau daerah ungsian.
Terumbu karang yang ada di pulau-pulau atau pantai utara Irian Jaya (Papua) mempunyai ciri dan struktur terumbu karang “West Pacific” karang tumbuh dengan baik mulai dari kedalaman 2 – 40 m.  Pantai Irian juga mempunyai lekuk-lekuk yang sangat bervariasi dan kemungkinan besar juga banyak ditemukan jenis-jenis yang endemik.  Penelitian karang di Utara Irian masih jarang dilakukan. (Suharsono, 1998).
3.      Faktor-faktor Yang Potensial Merusak Ekosistem Terumbu Karang
Walaupun potensi sumberdaya hayati tersebut sangat kaya namun sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar 6.600 desa pantai, masih berada dibawah garis kemiskinan sebagaimana hasil studi sosial ekonomi proyek MREPP tahun 1996.  Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata penghasilan penduduk pesisir di teluk Kotania  Pulau Seram dan Pulau Ambon sekitar Rp. 475.625.- pertahun, sementara di desa pantai bagian Barat dan Selatan Pulau Lombok sekitar Rp.336.952.- pertahun.  Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat pesisir untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan melebihi daya dukungnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bekerja sama dengan pedagang ikan karang.
Masalah yang lebih rumit adalah ada sekelompok masyarakat yang berpendidikan dan bermodal kuat menggunakan bahan-bahan cyanida dan bom serta didukung dengan kapal dan peralatan selam untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan karang serta berkompetisi dengan masyarakat nelayan tradisional.  Modal dan keuntungan mereka digunakan juga untuk menetapkan kolusi dengan penguasa tertentu, sehingga bila tertangkap sering mengalami kesulitan untuk dihukum.
Ekosistem terumbu karang mempunya potensi ekonomi yang sangat besar mendorong pengambilan sumberdaya yang dikandungnya  secara berlebihan (over exploitation) serta kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.  Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem terumbu karang adalah milik bersama (common property), sehingga bila mereka tidak emanfaatkannya pada saat ini, maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common).   Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut, sebagian besar dari mereka menggunakan racun cyanida, bahan peledak, muro ami, dan bubu yang semuanya itu merusak ekosistem terumbu karang.  Para pengguna racun Cyanida umumnya  bermaksud menangkap ikan karang untuk dipasarkan dalam keadaan hidup di negara tertentu, sehingga mereka membentuk jaringan penangkap dan pemasaran secara internasional.  Sedang ikan-ikan yang dibom biasanya mati dan mengalami kehancuran sehingga perlu dipasarkan dalam skala propinsi, regional atau nasional.      
Aktivitas wisata bahari seperti penyelam juga memberikan kontribusi terhadap laju kerusakan akibat jangkar perahu atau terinjak penyelam pemula. Intensifikasi pertanian di DAS Hulu, akan meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi kelaut.    Jika tidak ada ekosistem mangrove yang efektif menyerap sedimen tanah, maka proses sedimentasi ini akan menutupi permukaan karang sehingga karangnya mati.  Kegiatan pembangunan dipesisir sekitar ekosistem terumbu karang  juga menimbulkan dampak negatif yang mengganggu kelestariannya, seperti kegiatan reklamasi di Teluk Manado dan Teluk Lampung, serta daerah-daerah lainnya. (Ginting, 1998)
4. Penggambaran Kondisi Terumbu Karang
Dalam menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk suatu struktur komunitas yang terdiri dari data: persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, kelimpahan, frekwensi kehadiran, bentuk pertumbuhan, indeks keaneka ragaman jenis.  Beberapa metode telah dikembangkan untuk itu.  Beberapa pakar yang mendalami penelitian masalah komunitas karang yang antara lain terdiri dari :
1. Metode transek garis (line transect)
2. Metode transek kuadrat (quadrat transect)
3. Metode transek sabuk (belt transect)
4. Metode transek intersep
5. Metode manta tow
6. Metode transek bentuk pertumbuhan (lifeform transect).
Metode Transek Garis :
Metode ini telah berkembang cukup lama dan merupakan metode yang paling konsisten digunakan oleh para pakar.  Prinsip dari pada metode ini adalah menggunakan suatu garis transek yang diletakkan diatas koloni karang. Dalam perkembangannya metode transek garis mengalami penyesuaian baik panjang garis transek itu maupun pemakaian bahan yang digunakan untuk membuat garis transek tersebut.
Langkah-langkah dari metode transek garis adalah sebagai berikut :
Alat-alat yang digunakan terdiri dari : scuba, alat tulis bawa air, roll meter, tas nilon, palu geologi, dan pahat.  Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan terumbu karang batu ( 25 m) sampai didaerah pantai mengikuti kedalaman mengikuti garis kontur.  Pembuatan transek  dengan roll meter dengan panjang setiap tali transek adalah 10 m dan dibuat sejajar garis pantai.  Jarak antara garis transek yang satu dan berikutnya adalah 1m.  Koloni karang yang terletak dibawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang.  Pengukuran dilakukan dengan ketelitian mendekati cm.  Koloni karang yang telah diketahui jenisnya langsung dicatat sedangkan yang belum diambil contohnya sebagian dan diidentifikasi di laboratorium.  Didalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu.  Bila  satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri.  Apabila dua koloni atau lebih tumbuh diatas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah.  Pencatatan panjang tumpang tindih koloni nantinya akan dipergunakan untuk menganalisis kelimpahan jenis.  Yang perlu dicatat juga adalah kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain.  Selain itu dilakukan juga koleksi bebas disekitar daerah transek, untuk mengetahui komposisi dan kekayaan jenis karang batu. Jika terjadi kondisi  dimana ombak cukup kuat, maka dianjurkan transek terbuat dari roll meter  digantikan dengan rantai yang terbuat dari logam. Ini dimaksudkan agar tidak mudah terombang-ambing sewaktu di hempas ombak dan dapat mengikuti kontur permukaan koloni karang secara mudah.
Penggunaan metode ini mempunyai kelebihan yaitu akurasi data dapat diperoleh dengan baik dan lebih banyak seperti: struktur komunitas yakni persentase tutupan karang hidup/mati, kekayaan jenis, dominasi, frekwensi kehadiran, ukuran koloni dan keaneka ragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh.  Juga struktur kominitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang juga dapat disajikan secara baik.  Namun metode ini menuntut kemampuan individu yang tinggi yakni selain mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang secara langsung, peneliti juga dituntut sebagai penyelam yang baik.  Selain itu waktu yang diperlukan cukup lama dan biaya yang diperlukan relatif besar.
Metode Transek Bentuk Pertumbuhan
Semakin bertambahnya penduduk dan semakin tingginya limbah yang masuk keperairan pantai menyebabkan semakin tingginya tekanan terhadap terumbu karang.  Disamping oleh tingkah laku manusia terumbu karang juga mengalami kerusakan yang cukup besar oleh faktor alami.  Dalam memantau tingkat kerusakan tersebut dibutuhkan suatu metode penilaian kondisi terumbu karang yang cepat, murah, dan cukup informatif.  Sehingga keterbatasan tenaga peneliti yang mempunyai latar belakang ekologi terumbu karang dan terbatasnya waktu yang ada serta hasil dari penelitian itu harus dapat dibandingkan sehingga dikembangkan metode penilaian terumbu karang yang dapat memenuhi persyaratan cepat, murah, dan bukan harus seorang ahli karang.  De Vantier et al. (1985) dalam ASEAN-Australia Project mengembangkan metode yang cukup sederhana yang dapat dilakukan oleh hampir semua peneliti dan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.  Metode ini disebut metode “lifeform” yang ditekankan pada bentuk pertumbuhan karang.  Sehingga oleh karena Acropora hampir ditemukan disemua terumbu karang dan merupakan komponen utama pembentuk terumbu karang maka pada metode bentuk pertumbuhan ini dikelompokkan tersendiri yaitu Acroporan dan non Acropora.
Pada metode ini bukan hanya ditekankan pada karangnya sendiri akan tetapi juga biota yang berasosiasi dengan karang seperti algae, sponge dan lain lain.  Panjang garis yang digunakan adalah 100 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman 3 dan 10 m.  Letak garis transek pada kedalaman 3 dan 10 m dianggap mewakili kondisi karang didaerah tersebut,  sehingga biasanya tumbuh dengan pada kedalaman tersebut.  Dalam metode ini dituntut seseorang menghafal 27 kriteria.  Metode ini cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh semua orang tanpa harus mempunyai latar belakang taksonomi karang.

PENUTUP
Berdasarkan dari semua penjelasan diatas, fungsi dan nilai ekosistem terumbu karang sangat penting bagi masyarakat lokal sebagai penyedia sumber pangan dan sumber pendapatan mereka.  Oleh sebab itu, laju kerusakan ekosistem terumbu karang perlu segera dikurangi dan upaya pengelolaan ditingkatkan sehingga kelestariannya dapat terjamin, sehingga perlu dikembangkan pendekatan pengelolaan efektif dan efisien.  Salah satunya adalah dengan mengembangkan sistem "Community Base anagement” atau Pengelolaan Berbasis  Masyarakat (PBM).
Pengelolaan berbasis masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach), berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.  Tujuan dari sistem PBM adalah untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berperan serta secara aktif dan terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal khususnya terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya, untuk menjamin/menjaga kelestarian dan penggunaan sumberdaya tersebut, dan dengan demikian menjamin adanya pembangunan yang berkesinambungan di wilayah bersangkutan.  Sedangkan ruang lingkup pelaksanaan PBM difokuskan pada :
(i)  perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) lokal
(ii)  pemilihan dan pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA)
(iii)  penguatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan lokal
(iv)  penyadaran masyarakat
(v)  peningkatan prasarana dasar
Persepsi masyarakat dan Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang telah bergeser kearah positif.  Namun pergeseran kearah positif ini masih menghadapi kendala yaitu belum adanya kewenangan daerah secara otonomi untuk mengelola sumberdaya laut termasuk ekosistem terumbu karang sehingga kegiatan pengelolaan terumbu karang masih bersifat keproyekan.  Selama ada proyek, kegiatan terus dibina, tetapi setelah dana proyek berakhir maka persepsi pengelolaannya pun mengalami perubahan yang bermuara pada penurunan aktivitas dan kualitas pengelolaan lingkungan laut.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan terumbu karang  antara lain :
1. Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya terumbu karang
2. Kurangnya sarana dan prasarana pengelolaan
3. Masalah sosial ekonomi masyarakat (nelayan) karena kurang tersedianya sumber pendapatan alternatif
4. Penegakan hukum yang masih lemah
5. Koordinasi antar  instansi yang masih lemah.
Sehingga, penanganan masalah yang muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya terumbu karang, diperlukan keterpaduan penanganan dengan koordinasi yang lebih baik, realisasi aktif atas langkah yang telah dicanangkan bersama dan tidak cukup hanya dengan tulisan-tulisan hasil diskusi, seminar dan lain-lain.      

DAFTAR  PUSTAKA

AKKII, 1998. Pemanfaatan Bunga Karang dan Usaha Pelestariannya. Konperensi Nasional I  Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Bengen, D.G. 1999. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir (sinopsis). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.  
Best. M.B., B.W. Hoeksema, W.Moka, H. Moll, Suharsono and I.N. Sutarna.  1989. Recent Scleratian coral species collected during theSnellius_II  Expedition in eastern Indonesia Neth. J. Sea. Res. 23:107-115.
Ginting, S.A. 1998.  Persepsi Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.  Konperensi Nasional I  Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Miclat, R. and Miclat, 1989. Artificial Reefs : A Fishiers Management Tool For Ligayen Gulf. ICLARM Conference Proceeding 17.P : 109-117.
Sadarun, 2001. Tugas Mata Ajaran Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Suharsono, 1998.  Distribusi, Metodologi dan Status Terumbu Karang di Indonesia. Konperensi Nasional I  Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Tomascik, T.A.J. Mah, A. Nontji. And M.K. Moosa.  The ecology of Indonesian seas. Periplus eds Part I & II. 1388
Wallace, C.C. (in press). New Species and new records of recently descibed species of genus Acropora  (Scleractinia; Astrocoeoniina; Acroporidae) from Indonesia.
Walters, J.S. 1994. Properly right and participatory coastal management in the Philippines and Indonesian Coastal Management in Tropical Asia. 3: 20-24.