Tuesday, 10 September 2013

KERUSAKAN TERUMBU KARANG DAN USAHA PENCEGAHANNYa

KERUSAKAN TERUMBU KARANG DAN USAHA PENCEGAHANNYA

PENDAHULUAN
1.             Latar Belakang
Bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa telah diberikan karunia kekayaan berupa keanekaragaman hayati di lautan dalam jumlah yang sangat besar berupa ikan, terumbu karang, kerang, algae dan lain-lain.  Pemerintah telah menggariskan bahwa pembangunan sektor kalautan diarahkan pada pendayagunaan sumberdaya laut tersebut serasi dan seimbang dengan memperhatikan dayadukung kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha.   Terumbu Karang merupakan  ekosistim perairan pantai yang dinamis, namun sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, dan juga  mempunyai produktifitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi,  sehingga menjadi sumber plasma nutfah bagi kehidupan biota laut.  Disamping itu ekositem terumbu karang yang juga merupakan tempat hidup, tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning) bagi berbagai biota laut.
Selain itu ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, yang dapat mencegah terjadinya erosi pantai yang akan mengakibatkan hilangnya asset yang telah diinvestasikan di pesisir, seperti bangunan pariwisata, industri perikanan, pemukiman dan dan tempat-tempat  sakral misalnya Tanah Lot.
Ekosistem Terumbu karang juga mengandung nilai estetika yang tinggi yang menarik minat para wisatawan untuk menyelam.  Terumbu karang juga merupakan sebuah laboratorium laut alami, yang sangat indah dan penuh dengan berbagai bentuk interaksi/hubungan antara berbagai organisme laut, dan hal-hal lain yang sangat menarik namun belum banyak terungkap. (Ginting, S.P. 1998)  
Terdapat banyak biota laut yang hidup didaerah terumbu karang yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, diantaranya yaitu ikan karang.  Sumber daya ikan karang dapat digolongkan menjadi dua yaitu Golongan Ikan Hias (ornamental fish) dan Golongan Ikan Konsumsi  (food fish). Ikan karang merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cerah di Indonesia dalam upaya peningkatan ekspor non migas, meningkatnya permintaan pasar terhadap ikan karang untuk konsumsi dengan harga yang menggiurkan, telah mendorong masyarakat nelayan untuk mengeksploitasi ikan karang sebanyak-banyaknya.  Tetapi dilain pihak, penangkapan ikan karang di daerah terumbu karang seringkali dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan sekitarnya.  Dibeberapa daerah telah menjurus kearah eksploitasi yang berlebihan.  Penggunaan alat tangkap yang efektif, jika tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai akan sifat-sifat biologis dari fauna dan flora yang ada, dapat mengakibatkan kelangkaan bahkan kepunahan sumberdaya alam. (Sadarun, 2001).
Pemanfaatan sumberdaya tersebut dewasa ini semakin berkembang akibat semakin tingginya permintaan akan komoditi yang dihasilkannya, sehingga usaha pemenuhannya dilakukan sebanyak mungkin dan seefisien mungkin. Jenis alat yang dipergunakan dalam pemanfaatan sumberdaya  tersebut semakin berkembang, bahkan cenderung merusak lingkungan; dari yang sederhana (jaring, pancing, linggis) telah berubah kebahan yang lebih modern (peledak, bahan kimia/beracun, trawl).  Sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya laut oleh berbagai kalangan dengan berbagai macam cara dan alat yang dipergunakan, yang sama-sama beroperasi di lautan, maka cara pemanfaatan yang lestari dan yang merusak seolah-olah menjadi kabur.  Ditambah dengan adanya keterbatasan masyarakat luas dalam pemahaman tehadap pemenfaatan lestari sumber kelautan, yang kemudian ditopang pula oleh kecenderungan lebih suka melihat akibat daripada menganalisis penyebabnya, maka telah menimbulkan opini di masyarakat luas bahwa kerusakan sumberdaya pesisir  dan lautan, khususnya terumbu karang, seolah-olah diakibatkan oleh kegiatan perdagangan (eksport) bungan karang.  Oleh karena itu untuk menangani permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan sumberdaya laut  khususnya terumbu karang, perlu dilakukan koordinasi yang lebih mantap, baik instansi pemerintah atau swasta. (AKKII, 1998).
2.             Perumusan Masalah 
Akibat dari pemanfaatan sumberdaya laut oleh berbagai kalangan dengan berbagai macam cara dan alat yang dipergunakan, yang sama-sama beroperasi dilautan, maka cara pemanfaatan yang lestari dan yang merusak seolah-olah menjadi kabur.   sehingga pembangunan sektor kelautan diarahkan pada pendayagunaan sumberdaya laut  tersebut serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha.
3.             Tujuan Penelitian
      Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk mendukung dan mensukseskan kebijakan-kebijakan dalam rangka pengamanan kelestarian terumbu karang dengan kemampuan yang serba terbatas dan juga diharapkan peran serta seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan.  
TINJAUAN PUSTAKA
  1.  Status Terumbu Karang di Indonesia
Panjang garis pantai di Indonesia adalah 80.791 km dengan luas terumbu karang 60.000 km2 (LH. 1992, Walter. 1994).  Sedangkan Tomascik Dkk. 1997 menyebutkan panjang garis pantai 204.000 km dengan luas terumbu karang 85.707 km2.  Terumbu karang di Indonesia dilihat dari struktur geomorfologinya dan proses pembentukannya dapat dibedakan menjadi empat yaitu :
1. Terumbu karang tepi (Fringing reef)
2. Karang Penghalang (Barrier reef)
3. Terumbu karang cincin (Atoll) dan
4.Terumbu karang takat (Patch reef atau Platform reef)
Pertumbuhan karang di Indonesia didominasi oleh karang marga Acropora, Montipora, dan Porites.    Pada data yang diambil dari 416 lokasi di 43 daerah yang tersebar diseluruh perairan Indonesia menunjukkan bahwa 6,49 % karang Indonesia dalam kondisi yang sangat baik, 24,28% dalam kondisi baik, 28,61 dalam kondisi sedang dan 40,62% dalam kondisi buruk.  Terumbu karang yang berada di Indonesia bagian barat kondisinya paling buruk jika dibandingkan dengan Indonesia Tengah dan Indonesia bagian Timur.
  2. Sebaran Terumbu Karang
Sebaran terumbu karang tidak hanya terbatas secara horizontal akan tetapi juga terbatas secara vertikal dengan faktor kedalaman serta struktur substrat dasar.  Pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman.  Faktor-faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air.
Terumbu karang tersebar di laut dangkal di daerah tropis hingga suptropis yaitu diantara lintang 350 lintang utara dan 320 lintang selatan mengelilingi bumi.  Garis lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh.  Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerah-daerah tertentu seperti pulau-pulau yang sedikit mangalami proses sedimentasi atau di sebelah barat dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya arus dingin
Sebaran karang di Indonesia secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut.  Sebaran karang di pantai barat Sumatra dan Jawa Selatan lebih dipengaruhi oleh arus Lutan Hindia.  Keanekaragaman jenis karang didaerah ini relatif rendah dan mirip keanekaragaman yang ada dilautan Hindia (Indian Ocean) secara keseluruhan.  Rendahnya keanekaragaman jenis karang di pantai selatan Jawa oleh karena adanya upwelling yang membawa air dingin dari dasar samudra.  Pertumbuhan karang yang ada di sepanjang deretan Pulau Simeulue sampai Pulau Enggano lebih banyak di pengaruhi oleh substrat dasar yang landai dan terdiri pasir dan lumpur sehingga karang tidak berkembang dengan baik.  
Sebaran terumbu karang disepanjang pantai timur Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa Utara dipengaruhi oleh adanya sedimentasi yang tinggi yang dibawa oleh aliran sungai yang banyak berada disana. Pertumbuhan karang umumnya terdapat di pulau-pulau kecil yang terletak terpisah dari Pulau Utama.  Semakin jauh letaknya dari Pulau Utama semakin baik pertumbuhan karangnya.  Riau kepulauan karang tumbuh hanya pada kedalaman 2-8 meter yang umumnya didominasi oleh karang masive.
Sebaran karang yang tumbuh paling baik dan berkembang secara maksimum adalah di Pulau Sulawesi, Propinsi Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.  Di daerah ini muara sungai relatif sedikit, struktur pantai dan substrat dasar berupa substrat yang keras dan pola arus yang mengalir sepanjang tahun.  Oleh karena adanya arus lintas Indonesia yang berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang yang berasal dari Samudra pasifik menuju Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang sangat baik mulai dari kedalaman 2- 30 m. Keanekaragaman jenis berkembang secara maksimum bahkan sekitar Sulawesi dianggap sebagai pusat keanekaragaman jenis dan pusat asal usul karang. Sirkulasi arus yang baik dan rendahnya sedimentasi merupakan andil yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya terumbu karang secara optimal.  Karang yang tumbuh didaerah NTT dan NTB merupakan terumbu yang lebih banyak dipengaruhi oleh adanya arus pasang surut yang merupakan pertukaran massa air dari Laut Flores dengan lautan Hindia.  NTB dan NTT hanya merupakan pulau yang kering dengan garis pantai yang mempunyai lekuk-lekuk yang dalam sehingga sering ditemukan jenis karang yang bersifat endemik.  Daerah NTB dan NTT sering disebut “refuges” area atau daerah ungsian.
Terumbu karang yang ada di pulau-pulau atau pantai utara Irian Jaya (Papua) mempunyai ciri dan struktur terumbu karang “West Pacific” karang tumbuh dengan baik mulai dari kedalaman 2 – 40 m.  Pantai Irian juga mempunyai lekuk-lekuk yang sangat bervariasi dan kemungkinan besar juga banyak ditemukan jenis-jenis yang endemik.  Penelitian karang di Utara Irian masih jarang dilakukan. (Suharsono, 1998).
3.      Faktor-faktor Yang Potensial Merusak Ekosistem Terumbu Karang
Walaupun potensi sumberdaya hayati tersebut sangat kaya namun sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar 6.600 desa pantai, masih berada dibawah garis kemiskinan sebagaimana hasil studi sosial ekonomi proyek MREPP tahun 1996.  Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata penghasilan penduduk pesisir di teluk Kotania  Pulau Seram dan Pulau Ambon sekitar Rp. 475.625.- pertahun, sementara di desa pantai bagian Barat dan Selatan Pulau Lombok sekitar Rp.336.952.- pertahun.  Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat pesisir untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan melebihi daya dukungnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bekerja sama dengan pedagang ikan karang.
Masalah yang lebih rumit adalah ada sekelompok masyarakat yang berpendidikan dan bermodal kuat menggunakan bahan-bahan cyanida dan bom serta didukung dengan kapal dan peralatan selam untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan karang serta berkompetisi dengan masyarakat nelayan tradisional.  Modal dan keuntungan mereka digunakan juga untuk menetapkan kolusi dengan penguasa tertentu, sehingga bila tertangkap sering mengalami kesulitan untuk dihukum.
Ekosistem terumbu karang mempunya potensi ekonomi yang sangat besar mendorong pengambilan sumberdaya yang dikandungnya  secara berlebihan (over exploitation) serta kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.  Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem terumbu karang adalah milik bersama (common property), sehingga bila mereka tidak emanfaatkannya pada saat ini, maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common).   Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut, sebagian besar dari mereka menggunakan racun cyanida, bahan peledak, muro ami, dan bubu yang semuanya itu merusak ekosistem terumbu karang.  Para pengguna racun Cyanida umumnya  bermaksud menangkap ikan karang untuk dipasarkan dalam keadaan hidup di negara tertentu, sehingga mereka membentuk jaringan penangkap dan pemasaran secara internasional.  Sedang ikan-ikan yang dibom biasanya mati dan mengalami kehancuran sehingga perlu dipasarkan dalam skala propinsi, regional atau nasional.      
Aktivitas wisata bahari seperti penyelam juga memberikan kontribusi terhadap laju kerusakan akibat jangkar perahu atau terinjak penyelam pemula. Intensifikasi pertanian di DAS Hulu, akan meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi kelaut.    Jika tidak ada ekosistem mangrove yang efektif menyerap sedimen tanah, maka proses sedimentasi ini akan menutupi permukaan karang sehingga karangnya mati.  Kegiatan pembangunan dipesisir sekitar ekosistem terumbu karang  juga menimbulkan dampak negatif yang mengganggu kelestariannya, seperti kegiatan reklamasi di Teluk Manado dan Teluk Lampung, serta daerah-daerah lainnya. (Ginting, 1998)
4. Penggambaran Kondisi Terumbu Karang
Dalam menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk suatu struktur komunitas yang terdiri dari data: persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, kelimpahan, frekwensi kehadiran, bentuk pertumbuhan, indeks keaneka ragaman jenis.  Beberapa metode telah dikembangkan untuk itu.  Beberapa pakar yang mendalami penelitian masalah komunitas karang yang antara lain terdiri dari :
1. Metode transek garis (line transect)
2. Metode transek kuadrat (quadrat transect)
3. Metode transek sabuk (belt transect)
4. Metode transek intersep
5. Metode manta tow
6. Metode transek bentuk pertumbuhan (lifeform transect).
Metode Transek Garis :
Metode ini telah berkembang cukup lama dan merupakan metode yang paling konsisten digunakan oleh para pakar.  Prinsip dari pada metode ini adalah menggunakan suatu garis transek yang diletakkan diatas koloni karang. Dalam perkembangannya metode transek garis mengalami penyesuaian baik panjang garis transek itu maupun pemakaian bahan yang digunakan untuk membuat garis transek tersebut.
Langkah-langkah dari metode transek garis adalah sebagai berikut :
Alat-alat yang digunakan terdiri dari : scuba, alat tulis bawa air, roll meter, tas nilon, palu geologi, dan pahat.  Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan terumbu karang batu ( 25 m) sampai didaerah pantai mengikuti kedalaman mengikuti garis kontur.  Pembuatan transek  dengan roll meter dengan panjang setiap tali transek adalah 10 m dan dibuat sejajar garis pantai.  Jarak antara garis transek yang satu dan berikutnya adalah 1m.  Koloni karang yang terletak dibawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang.  Pengukuran dilakukan dengan ketelitian mendekati cm.  Koloni karang yang telah diketahui jenisnya langsung dicatat sedangkan yang belum diambil contohnya sebagian dan diidentifikasi di laboratorium.  Didalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu.  Bila  satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri.  Apabila dua koloni atau lebih tumbuh diatas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah.  Pencatatan panjang tumpang tindih koloni nantinya akan dipergunakan untuk menganalisis kelimpahan jenis.  Yang perlu dicatat juga adalah kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain.  Selain itu dilakukan juga koleksi bebas disekitar daerah transek, untuk mengetahui komposisi dan kekayaan jenis karang batu. Jika terjadi kondisi  dimana ombak cukup kuat, maka dianjurkan transek terbuat dari roll meter  digantikan dengan rantai yang terbuat dari logam. Ini dimaksudkan agar tidak mudah terombang-ambing sewaktu di hempas ombak dan dapat mengikuti kontur permukaan koloni karang secara mudah.
Penggunaan metode ini mempunyai kelebihan yaitu akurasi data dapat diperoleh dengan baik dan lebih banyak seperti: struktur komunitas yakni persentase tutupan karang hidup/mati, kekayaan jenis, dominasi, frekwensi kehadiran, ukuran koloni dan keaneka ragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh.  Juga struktur kominitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang juga dapat disajikan secara baik.  Namun metode ini menuntut kemampuan individu yang tinggi yakni selain mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang secara langsung, peneliti juga dituntut sebagai penyelam yang baik.  Selain itu waktu yang diperlukan cukup lama dan biaya yang diperlukan relatif besar.
Metode Transek Bentuk Pertumbuhan
Semakin bertambahnya penduduk dan semakin tingginya limbah yang masuk keperairan pantai menyebabkan semakin tingginya tekanan terhadap terumbu karang.  Disamping oleh tingkah laku manusia terumbu karang juga mengalami kerusakan yang cukup besar oleh faktor alami.  Dalam memantau tingkat kerusakan tersebut dibutuhkan suatu metode penilaian kondisi terumbu karang yang cepat, murah, dan cukup informatif.  Sehingga keterbatasan tenaga peneliti yang mempunyai latar belakang ekologi terumbu karang dan terbatasnya waktu yang ada serta hasil dari penelitian itu harus dapat dibandingkan sehingga dikembangkan metode penilaian terumbu karang yang dapat memenuhi persyaratan cepat, murah, dan bukan harus seorang ahli karang.  De Vantier et al. (1985) dalam ASEAN-Australia Project mengembangkan metode yang cukup sederhana yang dapat dilakukan oleh hampir semua peneliti dan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.  Metode ini disebut metode “lifeform” yang ditekankan pada bentuk pertumbuhan karang.  Sehingga oleh karena Acropora hampir ditemukan disemua terumbu karang dan merupakan komponen utama pembentuk terumbu karang maka pada metode bentuk pertumbuhan ini dikelompokkan tersendiri yaitu Acroporan dan non Acropora.
Pada metode ini bukan hanya ditekankan pada karangnya sendiri akan tetapi juga biota yang berasosiasi dengan karang seperti algae, sponge dan lain lain.  Panjang garis yang digunakan adalah 100 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman 3 dan 10 m.  Letak garis transek pada kedalaman 3 dan 10 m dianggap mewakili kondisi karang didaerah tersebut,  sehingga biasanya tumbuh dengan pada kedalaman tersebut.  Dalam metode ini dituntut seseorang menghafal 27 kriteria.  Metode ini cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh semua orang tanpa harus mempunyai latar belakang taksonomi karang.

PENUTUP
Berdasarkan dari semua penjelasan diatas, fungsi dan nilai ekosistem terumbu karang sangat penting bagi masyarakat lokal sebagai penyedia sumber pangan dan sumber pendapatan mereka.  Oleh sebab itu, laju kerusakan ekosistem terumbu karang perlu segera dikurangi dan upaya pengelolaan ditingkatkan sehingga kelestariannya dapat terjamin, sehingga perlu dikembangkan pendekatan pengelolaan efektif dan efisien.  Salah satunya adalah dengan mengembangkan sistem "Community Base anagement” atau Pengelolaan Berbasis  Masyarakat (PBM).
Pengelolaan berbasis masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach), berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.  Tujuan dari sistem PBM adalah untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berperan serta secara aktif dan terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal khususnya terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya, untuk menjamin/menjaga kelestarian dan penggunaan sumberdaya tersebut, dan dengan demikian menjamin adanya pembangunan yang berkesinambungan di wilayah bersangkutan.  Sedangkan ruang lingkup pelaksanaan PBM difokuskan pada :
(i)  perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) lokal
(ii)  pemilihan dan pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA)
(iii)  penguatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan lokal
(iv)  penyadaran masyarakat
(v)  peningkatan prasarana dasar
Persepsi masyarakat dan Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang telah bergeser kearah positif.  Namun pergeseran kearah positif ini masih menghadapi kendala yaitu belum adanya kewenangan daerah secara otonomi untuk mengelola sumberdaya laut termasuk ekosistem terumbu karang sehingga kegiatan pengelolaan terumbu karang masih bersifat keproyekan.  Selama ada proyek, kegiatan terus dibina, tetapi setelah dana proyek berakhir maka persepsi pengelolaannya pun mengalami perubahan yang bermuara pada penurunan aktivitas dan kualitas pengelolaan lingkungan laut.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan terumbu karang  antara lain :
1. Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya terumbu karang
2. Kurangnya sarana dan prasarana pengelolaan
3. Masalah sosial ekonomi masyarakat (nelayan) karena kurang tersedianya sumber pendapatan alternatif
4. Penegakan hukum yang masih lemah
5. Koordinasi antar  instansi yang masih lemah.
Sehingga, penanganan masalah yang muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya terumbu karang, diperlukan keterpaduan penanganan dengan koordinasi yang lebih baik, realisasi aktif atas langkah yang telah dicanangkan bersama dan tidak cukup hanya dengan tulisan-tulisan hasil diskusi, seminar dan lain-lain.      

DAFTAR  PUSTAKA

AKKII, 1998. Pemanfaatan Bunga Karang dan Usaha Pelestariannya. Konperensi Nasional I  Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Bengen, D.G. 1999. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir (sinopsis). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.  
Best. M.B., B.W. Hoeksema, W.Moka, H. Moll, Suharsono and I.N. Sutarna.  1989. Recent Scleratian coral species collected during theSnellius_II  Expedition in eastern Indonesia Neth. J. Sea. Res. 23:107-115.
Ginting, S.A. 1998.  Persepsi Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.  Konperensi Nasional I  Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Miclat, R. and Miclat, 1989. Artificial Reefs : A Fishiers Management Tool For Ligayen Gulf. ICLARM Conference Proceeding 17.P : 109-117.
Sadarun, 2001. Tugas Mata Ajaran Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Suharsono, 1998.  Distribusi, Metodologi dan Status Terumbu Karang di Indonesia. Konperensi Nasional I  Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Tomascik, T.A.J. Mah, A. Nontji. And M.K. Moosa.  The ecology of Indonesian seas. Periplus eds Part I & II. 1388
Wallace, C.C. (in press). New Species and new records of recently descibed species of genus Acropora  (Scleractinia; Astrocoeoniina; Acroporidae) from Indonesia.
Walters, J.S. 1994. Properly right and participatory coastal management in the Philippines and Indonesian Coastal Management in Tropical Asia. 3: 20-24.

No comments:

Post a Comment