Tuesday, 10 September 2013

GENEOLOGI PMII

Cikal Bakal Berdirinya PMII Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari kemauan yang kuat dari mahasiswa Nahdliyyin, yang ada pada saat itu tidak biasa dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU karena secara histories PMII merupakan mata rantai dari perguruan tinggi IPNU yang di bentuk pada muktamar ke III IPNU di Cerebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Puncak dari perjungan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Kaliurang Yogyakarta pada Tanggal 14-17 Maret 1990 dan akhirnya di bentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada Tanggal 14-16 April 1990 dengan limit waktu satu bulan setengah setelah keputusan di Kaliurang. banyak usulan nama yang disampaikan di antaranya adalah IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlotul Ulama) dari Jakarta, Persatuan Himpunan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari delegasi Bandung dan Surabaya, dari ketiga usulan nama tersebut akhirnya PMII-lah yang disetujui oleh forum pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Semenjak proses kelahirannya, PMII pada waktu itu secara structural masih menjadi Underbouw NU di bawah IPNU dan nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, karena kondisi social politik pada waktu itu patronase, gerakan mahasiswa masih menjadi bagian dari gerakan politik. Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “Pergerakan” adalah bahwa mahasiswa sebagai insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah Fil Ard, kata “Mahasiswa” yang terkandung di dalamnya adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berfikir, bersikap, dan beritndak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, akademis, social, dan dan insan mandiri. Kata “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah islam sebagai agama pembebas terhadap fenomina realitas social dengan paradigma ahlussunnah wal jamaah yang itu konsep pendekatan terhadap ajaran agama islam secara profesional antara Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir prilaku tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif, dan dan integratif. Sedangkan makna dari kata “Indonesia” yang terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah idiologi bangsa (pancasila) dan UUD 1945 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran akan wawasan nusantara. B. Reformulasi dan Reorientasi Pergerakan PMII Pada awal berdirinya PMII masih menjadi anderbouw NU baik secara structural (IPNU) maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi politik sangat panas dan banyak dari organisasi mahasiswa berafiliasi dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan partai, jadi gerakan PMII masih cenderung kepolitik praktis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972. Dalam perjalanan sejarahnya terus mengadakan refleksi aksi, gerakan yang selama ini diambilnya untuk menjadi cermin transformatif bagi gerakan-gerakan PMII di masa yang akan datang. Keterlibatan PMII dalam politik praktis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 akhirnya sangat merugikan PMII itu sendiri sebagia organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII mengalami banyak kemunduran dalam segala aspek gerakan. Hal ini juga berakibat buruk terhadap cabang PMII di beberapa daerah. Kondisi ini akhirnya menyadarkan PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang selama ini di lakukannya, khususnya dalam dunia politik praktis. Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar (MUBES) tanggal 14-16 juli 1972 PMII mencetuskan deklarasi independen di Munarjati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang lebih dikenal dengan “Deklarasi Menarjati”. Sejak saat itulah PMII secara formal structural berpisah dengan NU. Dan langsung membuka akses dan ruang yang sebear-besarnya tanpa berpihak pada salah satu partai politik apapun. Hingga kini independensi itu masih di pertahankan dan di pertegas dengan penegasan Cibogo pada tanggal 8 Oktober 1998. Bentuk dari independensi itu sebagai upaya merespon dan moderennitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idialisme yang dijiwai oleh ajaran Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sampai kemudian PMII melakukan reformulasi gerakan pada kongres X PMII pada tanggal 27 oktober 1991 di asrama haji pondok gede Jakarta. Pada kongres tersebut ada keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU yang akhirnya melahirkan pernyataan “deklarasi interdependensi PMII-NU” penegasan hubungan itu di dasarkan pada pemikiran antara lain: Adanya ikatan kesejarahan yang mempertautkan PMII dengan NU. Adapun kehidupan PMII menyatakan dirinya sebagai organisasi independen, hendaknya tidak di pahami secara sempit sebagai upaya mengurangi apalagi menghapus arti ikatan kesejahteraan tersebut. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi bangsa Indonesia. C. Menata Gerakan PMII Perubahan dalam system politik nasional yang pada akhirnya membawa dampak pada dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII sendiri, di samping sifat kritis yang sangat di butuhkan mendorong para aktivis PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa sebagai agent of social change. Sebenarnya pada era tahun 1980-an, PMII mulai serius masuk dan melakukan advokasi-advokasi terhdap masyarakat serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada dua momentum yang ikut mewarnai pergulatan pergerakan PMII pada wilayah kebangsaan. Penerimaan pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal Kembalinya NU ke khitthah 1926 pada tahun 1984. pada saat itu PMII mampu memposisikan peran yang sangat setraegis karena: 1) PMII memberikan priorotas kepada pengembangan intelektualitas. 2) PMII menghindari dari praktek politik praktis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil society. 3) PMII lebih mengembangkan sifat kritis terhadap negera. Pada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposisi gerakan yang akhirnya menghasilkan Nalai Dasar Pergerakan (NDP). Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan diskursif-diskursif serta isu-isu penting seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritis dan pos-modernisme. Seiring naiknya gus Dur menjadi orang nomor wahid keempat di Indonesia secara serta merta aktivis PMII mengalami kebingungan apakah civil society harus berakhir ketika gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simpul tali pejuangan civil society naik ketampuk kekuasaan. Dan ketika gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian diganti dengan pradigma Kritis Transformatif. Pernyataan yang timbul bagaimana kita sebagai kader PMII harus bersikap? Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII pada khususnya untuk berfikir kritis pada setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada rakyat kecil dan cenderung menginjak begitupun secara mikro kebijakan yang ada dilingkungan tempat tinggal kita. Selanjutnya setelah itu, kita sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik serta responsive terhadap realitas social yang ada. Landasan-landasan dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Landasan filosofis PMII adalah nilai dasar pergerakan (NDP) yang disitu ada hablum minallah (Hubungan Manusia dengan Tuhan), hablum minannans (Hubungan Manusia dengan Manusia), dan hablum minal alam (Hubungan Manusia dengan Alam). Landasan berfikir PMII adalah ASWAJA yang didalamnya ada tasamuh (toleransi), tawazun (proporsional/keseimbangan), tawassuth (moderat), ta’addul (keadilan), yang dijadikan manhajul al-fikr (metodologi berfikir) dan sebagai instrumen perubahan. Landasan pradigmatisnya adalah Pradigma Kritis Transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan perubahan yang lebih baik di semua bidang. Ketiga landasan itulah yang dujadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII. ASWAJA DAN NDP ASWAJA dalam pemahaman PMII Kita pernah tahu bahwa ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA) adalah mazhab keislaman yang menjadi dasar jami’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU) sebagai manhajul al-fikr yang di rumuskan oleh hadhratus syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qunun Asasi. Yaitu: Dalam Ilmu Aqidah/ teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam Syariah/Fiqh mengikuti salah satu empat Imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal). Dalam Tasyawuf/Akhlaq mengikuti salah satu dari dua Imam yaitu: Junaid Al-Baghdhadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Namun pemahaman seperti ini tidak memadai untuk di jadiakan pijakan gerak PMII. Sebab, pemahaman yang demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa di otak-atik lagi. Pemaknaannya hanya di batasi pada produk pemikiran saja. Sedangkan produk pemikiran secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar pergerakan, Aswaja harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan pada konteks saat ini dan yang akan datang inilah yang dinamakan idiologi terbuka. PMII memaknai aswaja sebagai Manhajul Fikr yaitu sebagi metode berfikir yang digariskan oleh sahabat-sahabat nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi social politik yang meliputi masyarakat muslim saat itu. Dari Manhajul Fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik bidang akidah, syari’ah, maupun akhlak/tasawuf, yang walaupun beranekaragam tetap berada dalam satu ruh. PMII juga memakai aswaja sebagai Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i yaitu pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rosulullah dan para sahabat-sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat yang mayoritas muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai Manhajul Fikr atau Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i adalah sebagaimana di sabdakan Rosulullah: Maa Anaa ‘Alaihi Wa Ash Habi (segala sesuatu yang datang dari rosul dan sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nalai: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (propesional/keseimbangan) dan ta’addul (keadilan). NILAI-NILAI ASWAJA DAN ARUS SEJARAH Tawassuth Tawasuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat tidak ekstrim (baik kekanan maupun kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul Umur aw Satuha (muderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawasuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaiman seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Aqidah yang tawasuth adalah aqidah yang di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta (menomor duakan al-Quran dan Sunnah Rasul), disisi lain menempatkan akal sebagai alat untuk berfikir dan menafsirkan al-Quran dan as-Sunnah. Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist, namun pemahamannya tidak hanya bersandar pada tradisi, juga tidak kepada rasionalitas akal belaka. Tasawuf yang tawasuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakekat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah atau sebaliknya. Tasawuf yang tawasuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Filsafat yang tawasuth pemikiran logis yang tidak mempertentangkan konsep-konsep filosofis kebenaran agama (al-Qur’an dan Hadist). Dengan kata lain menjadikan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist sebagai pemandu pemikiran filosofis. Tasamuh Tasamuh adalah toleran, Tepa Selira (bhs. Jawa). Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memakasakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagainan kita bersikap dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermaysarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran pluralisme atau keeagaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh di realisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat tasamuh terwujud dalam perbuata-perbuatan demokratis yang tidak mementingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang di penuhi oleh kerukunan, sikap saling menghormati, dan hormat-menghormati. Di wilayah kebudayaan tasamuh hadir dalam bentuk usaha menjadikan perbedaan ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagia élan yang dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan tersebut berhasil di rekatkan dalam sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, beraneka ragaman, saling melengkapi. Unity in diversity Tawaazun Keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antara individu, antar struktur social, antar negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Bentuk hubungan disini yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai fungsinya tanpa harus mengganggu fungsi oranglain. Hasil yang diharapkan adalah kedinamisan hidup. Dalam ranah social yang ditekankan adalah egaliterialisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari pada yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitas seseorang kepada orang lain. Termasuk laki-laki terhadap perempuan. Dalam wilayah poitik tawazun meniscayakan antara posisi negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenag-wenag menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi peraturan yang di tujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga harus senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam wilayah ekonomi tawazun meniscayakan pembangunan system ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar, dan mayarakat. Fungsi negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran nofal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan menguntrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah pendistribusian produk yang memposisikan konsumen serta produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat khususnya (konsumen) adalah menciptakan lingkunagn ekonomi yang kondusif, yang didalamnya tidak ada monopoli,dan disisi yang lain mengontrol kerja negara dan pasar. Ta’adul/ ’Adalah Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keaaadilan, yang merupakan pola integral dari tasamuh, tawazun, dan tawasuth. Keadilan ilmiah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan ssosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagimana Nabi Muhammad bisa dan mampu mewujudkan dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundemen bagi kehidupan masyarkat Islam yang agung. Cikal Bakal Berdirinya PMII Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari kemauan yang kuat dari mahasiswa Nahdliyyin, yang ada pada saat itu tidak biasa dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU karena secara histories PMII merupakan mata rantai dari perguruan tinggi IPNU yang di bentuk pada muktamar ke III IPNU di Cerebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Puncak dari perjungan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Kaliurang Yogyakarta pada Tanggal 14-17 Maret 1990 dan akhirnya di bentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada Tanggal 14-16 April 1990 dengan limit waktu satu bulan setengah setelah keputusan di Kaliurang. banyak usulan nama yang disampaikan di antaranya adalah IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlotul Ulama) dari Jakarta, Persatuan Himpunan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari delegasi Bandung dan Surabaya, dari ketiga usulan nama tersebut akhirnya PMII-lah yang disetujui oleh forum pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Semenjak proses kelahirannya, PMII pada waktu itu secara structural masih menjadi Underbouw NU di bawah IPNU dan nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, karena kondisi social politik pada waktu itu patronase, gerakan mahasiswa masih menjadi bagian dari gerakan politik. Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “Pergerakan” adalah bahwa mahasiswa sebagai insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah Fil Ard, kata “Mahasiswa” yang terkandung di dalamnya adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berfikir, bersikap, dan beritndak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, akademis, social, dan dan insan mandiri. Kata “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah islam sebagai agama pembebas terhadap fenomina realitas social dengan paradigma ahlussunnah wal jamaah yang itu konsep pendekatan terhadap ajaran agama islam secara profesional antara Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir prilaku tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif, dan dan integratif. Sedangkan makna dari kata “Indonesia” yang terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah idiologi bangsa (pancasila) dan UUD 1945 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran akan wawasan nusantara. B. Reformulasi dan Reorientasi Pergerakan PMII Pada awal berdirinya PMII masih menjadi anderbouw NU baik secara structural (IPNU) maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi politik sangat panas dan banyak dari organisasi mahasiswa berafiliasi dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan partai, jadi gerakan PMII masih cenderung kepolitik praktis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972. Dalam perjalanan sejarahnya terus mengadakan refleksi aksi, gerakan yang selama ini diambilnya untuk menjadi cermin transformatif bagi gerakan-gerakan PMII di masa yang akan datang. Keterlibatan PMII dalam politik praktis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 akhirnya sangat merugikan PMII itu sendiri sebagia organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII mengalami banyak kemunduran dalam segala aspek gerakan. Hal ini juga berakibat buruk terhadap cabang PMII di beberapa daerah. Kondisi ini akhirnya menyadarkan PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang selama ini di lakukannya, khususnya dalam dunia politik praktis. Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada musyawarah besar (MUBES) tanggal 14-16 juli 1972 PMII mencetuskan deklarasi independen di Munarjati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang lebih dikenal dengan “Deklarasi Menarjati”. Sejak saat itulah PMII secara formal structural berpisah dengan NU. Dan langsung membuka akses dan ruang yang sebear-besarnya tanpa berpihak pada salah satu partai politik apapun. Hingga kini independensi itu masih di pertahankan dan di pertegas dengan penegasan Cibogo pada tanggal 8 Oktober 1998. Bentuk dari independensi itu sebagai upaya merespon dan moderennitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idialisme yang dijiwai oleh ajaran Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sampai kemudian PMII melakukan reformulasi gerakan pada kongres X PMII pada tanggal 27 oktober 1991 di asrama haji pondok gede Jakarta. Pada kongres tersebut ada keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU yang akhirnya melahirkan pernyataan “deklarasi interdependensi PMII-NU” penegasan hubungan itu di dasarkan pada pemikiran antara lain: Adanya ikatan kesejarahan yang mempertautkan PMII dengan NU. Adapun kehidupan PMII menyatakan dirinya sebagai organisasi independen, hendaknya tidak di pahami secara sempit sebagai upaya mengurangi apalagi menghapus arti ikatan kesejahteraan tersebut. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi bangsa Indonesia. C. Menata Gerakan PMII Perubahan dalam system politik nasional yang pada akhirnya membawa dampak pada dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII sendiri, di samping sifat kritis yang sangat di butuhkan mendorong para aktivis PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa sebagai agent of social change. Sebenarnya pada era tahun 1980-an, PMII mulai serius masuk dan melakukan advokasi-advokasi terhdap masyarakat serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada dua momentum yang ikut mewarnai pergulatan pergerakan PMII pada wilayah kebangsaan. Penerimaan pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal Kembalinya NU ke khitthah 1926 pada tahun 1984. pada saat itu PMII mampu memposisikan peran yang sangat setraegis karena: 1) PMII memberikan priorotas kepada pengembangan intelektualitas. 2) PMII menghindari dari praktek politik praktis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil society. 3) PMII lebih mengembangkan sifat kritis terhadap negera. Pada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan reorientasi dan reposisi gerakan yang akhirnya menghasilkan Nalai Dasar Pergerakan (NDP). Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan diskursif-diskursif serta isu-isu penting seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritis dan pos-modernisme. Seiring naiknya gus Dur menjadi orang nomor wahid keempat di Indonesia secara serta merta aktivis PMII mengalami kebingungan apakah civil society harus berakhir ketika gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simpul tali pejuangan civil society naik ketampuk kekuasaan. Dan ketika gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian diganti dengan pradigma Kritis Transformatif. Pernyataan yang timbul bagaimana kita sebagai kader PMII harus bersikap? Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII pada khususnya untuk berfikir kritis pada setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada rakyat kecil dan cenderung menginjak begitupun secara mikro kebijakan yang ada dilingkungan tempat tinggal kita. Selanjutnya setelah itu, kita sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik serta responsive terhadap realitas social yang ada. Landasan-landasan dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Landasan filosofis PMII adalah nilai dasar pergerakan (NDP) yang disitu ada hablum minallah (Hubungan Manusia dengan Tuhan), hablum minannans (Hubungan Manusia dengan Manusia), dan hablum minal alam (Hubungan Manusia dengan Alam). Landasan berfikir PMII adalah ASWAJA yang didalamnya ada tasamuh (toleransi), tawazun (proporsional/keseimbangan), tawassuth (moderat), ta’addul (keadilan), yang dijadikan manhajul al-fikr (metodologi berfikir) dan sebagai instrumen perubahan. Landasan pradigmatisnya adalah Pradigma Kritis Transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan perubahan yang lebih baik di semua bidang. Ketiga landasan itulah yang dujadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII. ASWAJA DAN NDP ASWAJA dalam pemahaman PMII Kita pernah tahu bahwa ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA) adalah mazhab keislaman yang menjadi dasar jami’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU) sebagai manhajul al-fikr yang di rumuskan oleh hadhratus syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qunun Asasi. Yaitu: Dalam Ilmu Aqidah/ teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam Syariah/Fiqh mengikuti salah satu empat Imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal). Dalam Tasyawuf/Akhlaq mengikuti salah satu dari dua Imam yaitu: Junaid Al-Baghdhadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Namun pemahaman seperti ini tidak memadai untuk di jadiakan pijakan gerak PMII. Sebab, pemahaman yang demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa di otak-atik lagi. Pemaknaannya hanya di batasi pada produk pemikiran saja. Sedangkan produk pemikiran secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar pergerakan, Aswaja harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan pada konteks saat ini dan yang akan datang inilah yang dinamakan idiologi terbuka. PMII memaknai aswaja sebagai Manhajul Fikr yaitu sebagi metode berfikir yang digariskan oleh sahabat-sahabat nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi social politik yang meliputi masyarakat muslim saat itu. Dari Manhajul Fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik bidang akidah, syari’ah, maupun akhlak/tasawuf, yang walaupun beranekaragam tetap berada dalam satu ruh. PMII juga memakai aswaja sebagai Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i yaitu pola perubahan social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rosulullah dan para sahabat-sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat yang mayoritas muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai Manhajul Fikr atau Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i adalah sebagaimana di sabdakan Rosulullah: Maa Anaa ‘Alaihi Wa Ash Habi (segala sesuatu yang datang dari rosul dan sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nalai: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (propesional/keseimbangan) dan ta’addul (keadilan). NILAI-NILAI ASWAJA DAN ARUS SEJARAH Tawassuth Tawasuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat tidak ekstrim (baik kekanan maupun kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul Umur aw Satuha (muderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawasuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaiman seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Aqidah yang tawasuth adalah aqidah yang di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta (menomor duakan al-Quran dan Sunnah Rasul), disisi lain menempatkan akal sebagai alat untuk berfikir dan menafsirkan al-Quran dan as-Sunnah. Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadist, namun pemahamannya tidak hanya bersandar pada tradisi, juga tidak kepada rasionalitas akal belaka. Tasawuf yang tawasuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakekat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah atau sebaliknya. Tasawuf yang tawasuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Filsafat yang tawasuth pemikiran logis yang tidak mempertentangkan konsep-konsep filosofis kebenaran agama (al-Qur’an dan Hadist). Dengan kata lain menjadikan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist sebagai pemandu pemikiran filosofis. Tasamuh Tasamuh adalah toleran, Tepa Selira (bhs. Jawa). Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memakasakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagainan kita bersikap dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermaysarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran pluralisme atau keeagaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh di realisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat tasamuh terwujud dalam perbuata-perbuatan demokratis yang tidak mementingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang di penuhi oleh kerukunan, sikap saling menghormati, dan hormat-menghormati. Di wilayah kebudayaan tasamuh hadir dalam bentuk usaha menjadikan perbedaan ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagia élan yang dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan tersebut berhasil di rekatkan dalam sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, beraneka ragaman, saling melengkapi. Unity in diversity Tawaazun Keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antara individu, antar struktur social, antar negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Bentuk hubungan disini yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai fungsinya tanpa harus mengganggu fungsi oranglain. Hasil yang diharapkan adalah kedinamisan hidup. Dalam ranah social yang ditekankan adalah egaliterialisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari pada yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitas seseorang kepada orang lain. Termasuk laki-laki terhadap perempuan. Dalam wilayah poitik tawazun meniscayakan antara posisi negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenag-wenag menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi peraturan yang di tujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga harus senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam wilayah ekonomi tawazun meniscayakan pembangunan system ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar, dan mayarakat. Fungsi negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran nofal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan menguntrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah pendistribusian produk yang memposisikan konsumen serta produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat khususnya (konsumen) adalah menciptakan lingkunagn ekonomi yang kondusif, yang didalamnya tidak ada monopoli,dan disisi yang lain mengontrol kerja negara dan pasar. Ta’adul/ ’Adalah Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keaaadilan, yang merupakan pola integral dari tasamuh, tawazun, dan tawasuth. Keadilan ilmiah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan ssosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagimana Nabi Muhammad bisa dan mampu mewujudkan dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundemen bagi kehidupan masyarkat Islam yang agung.

No comments:

Post a Comment