Tuesday 10 September 2013

MEMBACA SEJARAH PERGERAKAN

Menuntaskan Transformasi Demokratik Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang samat panjang telah menempatkan sebagai kelompok seterategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Membaca Gerakan Mahasiswa (GM) kontemporer karenanya butuh pembacaan historisnya. Yakni pembacaan atas berbagai konteks dan problematika GM Indonesia sedari kelahirannya. Mulai dari perlawanan atas imperialisme sampai pergulingan rezim dispotis, upaya pendekonstruksian formasi sosial masyarakat, keberadaannya sebagai motor penggerak, pengorganisasian, hingga visi strategis GM. Singkatnya, riset ini difokuskan pada dialektika pergerakam pemuda dan mahasiswa sepanjang sejarah keindonesiaan, yakni rentang waktu 1900-an hingga 2003 (kekinian). Vareabel penjelasnya ditekankan pada dua wilayah, yakni konteks yang mengerangkai (Global-Nasional-Lokal) dan aktor pergerakan. Kebangkitan Nasional 1908 menjadi penanda salah satu tonggak sejarah kebangsaan. Namun dia tentunya dilatari setting sosial tertentu. Pelacakannya bisa diruntut pasca pemberlakuan politik etis, walaupun ada beberapa peristiwa penting yang mengintrodusir terjadinya "Ledakan" pergerakan di masa ini. Sebagaimana diketahui, sejak revolusi pengatahuan-teknologi era Renaissance di Barat, memacu perubahan besar pada tatanan Dunia. Persaingan antara Negara bangsa di Eropa melalui pencarian Dunia baru yang di iringi praktek imperialisme. Indonesia tidak luput dari proses ini ketia masuknya bangsa Portugis, Belanda,hingga Jepang. Belanda masuk sejak Tahun 1596-Cornelis De Houtman di Banten – dan puncaknya pada masa kekuasaan VOC-kongsi dagang pemerintah Belanda-VOC melalui eksploitasinya Tahun 1602 di bawah komando Gubernur Jendral Hindia Belanda, J.P Coen (meminpin 1619-1623 dan 1627-1629). Dari yang tadinya praktek monopoli "alamiah" dalam perdagangan rempah-rempah, hingga penggunaan kekuatan politik, yakni masa culture stelsel (culture system,culture system, cultivation system, tanam paksa) dan seterusnya. Culture stelsel dilakukan karena pailitnya VOC (31-12-1799). Sebelumnya Hindia Belanda sempat dibawah jajahan Inggris selama lima Tahun (1811-1816) di bawah Sir Thomas Stanford Raffles. Tanam paksa kurang lebih selama 40 Tahun (1830-1870) di bawah gubernur jendral Van Den Bosch. Cara eksploitasi model Culture Stelsel ini sendri dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah Belanda untuk menutup kas Negara untuk membiayai peperangan yang terjadi di Eropa. Keterlibatan negera secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di daerah koloni karenanya di butuhkan. Berikutnya, revolusi februari 1848 di Perancis mengintrodusir pergeseran gagasan ekonomi-politk di Belanda termasuk Hindia Belanda di dalamnya. Liberalisme ekonomi adalah anak kandeng revolusi ini. Yang melalui desakan dari golongan liberal (F. Van De Putte, De Waal, Thorbecke, dll) serta golongan humanis melalui E. Douwess Dekker (1812-1979) di Belanda. Politik Etis Kemenagan kaum liberal di Belanda berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik etis. Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum liberal untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter melaui “Een Eerreschuld” (Debt of Honourl) utang budi, dalam majalah De Gids 1899, mengkritik kebijakan kolonial yang tidak memperhatikan kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto, 1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di tuangkan dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik dari politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina. Bagi kaum liberal Belanda, politik etis secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan emigrasi. Dalam tafsir ini, politik etis adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan Negara jajahan dalam kerangka kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat di lihat dari sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya lebih menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi (perlindungan dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan akses, dan mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari transformasi eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung, yang menjadi sasaran trans migrasi. Namun demikian implementasinya tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai untuk melawan Belanda. Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan berbagai perlawanan, dari yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari faktor internal dan eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan (rasa senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah memberi jalan kesatuan bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju; konsolidasi bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan; pergerakan Nasional sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan; inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor eksternalnya: kemenagan Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi kaum muda Turki 1908 (Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat Sen) dan sebagainya (G. Moedjanto: 26). Begitu politik etis dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau Sekolah Dokter Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arts - STOVIA) (Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program politik etis yang lain, yakni transmigrasi dan irigasi. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarak pribumi. Gerakan di masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan mahasiswa-Dr. Wahidin Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah “Retnodoemilah” yang di terbitkan di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di pimpin oleh F.L Winter, seorang ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati, Sleman Yogyakarta (W. 26 mei 1916) di Yogyakarta. Pada Tahun 1906 ia keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan tercapai dengan ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa (studiefonds), untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan wahidin tidak di sukai oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi. Tahun1907, di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam pemuda dan mahasiswa, yakni budi utomo 20 mei Tahun 1908. personelnya di ketuai oleh dr. sutomo (lahir didesa ngapeh, nganjuk, jatim, 30 juli 1888), gunawan mangun kusumo (wakil ketua), dan dan gondo sowarno (sekretaris). Pada Tahun 1924 ia juga mendirikan Sutdie Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam persatuan bangsa Indonesia (PBI) pada 16 oktober 1930, cara PBI dalam menghadapi penerintahahn kolonial Belanda memilih jalan tengah antara jalur kooperatif atau non kooperataf. Atas prakarsanya pada Tahun 1935 budi utomo dan PBI disatukan dalam wadah partay Indonesia raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah bekerja sama dengan ir. Soekarno membentuk badan pederasibernama PPPKI (permufakatan perhimpunan politik kebangsaan indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI juga memiliki kontri bwsi besar bagi terlaksananya kongres Indonesia raya Tahun 1928 dan 1931 di Surabaya dimanan sutomo mwnjadi ketuanya. Pada dasawarsa 1920-an perlawanan di Jawa terbagi menjadi tiga front, yaitu front Jakarta yang dipimpin oleh husni tamrin, front bandung yang dipimpin oleh sukarno, dan front Jawa timur yang di pimpin oleh sutomo, yang meminpin dan banyak sekali menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan seperti “suara umum, tempo, majalah bangun, dan sebagainya”. Masih diTahun 1908, sutomo di gantikan Rd. Adiati tirtokusumo melalui kongres budi utomo I (11 oktober 1909) bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa kama budi utomo akan kesulitan dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di serahkan pada kalangan para priyayi. Tirto kusumo meminpin budi utomo mulai Tahun 1908-1914 (2 priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915, R.M. Ario suryosaputro Tahun 1915-1916, R.M. Ario wuryonigrat. Kepemimpinan golongan priyayi membawa budi utomo pada karakter perlawanan yang cenderung kooperatif dengan pihak kolonial. Sebagai varian gerakan, budi utomo membuat “organ taktis” yakni tri koro dharmo (berdiri 7 maret 1915) yang diketuai oleh sutiman wryosanjoyo dan beranggotakan sunardi (wongso negoro), sutomo, muslch, musoda, dan abdul rahman. Walaupun asasnya bersifat Nasional dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran “Hindia”, namun anggotanya adalah murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa tengah dan Jawa timur saja. Trikoro dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries. Namun demikian dari organisasi ini dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada kongresnya di solo, 12 jini 1918, trikoro dharmo berubah menjadi jong java yang corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa sunda. Konteks situasi Nasional pada saat itu samangat pergerakan untuk merebut kemerdekaan. Selama eksis, jong java telah mampu menjadi salah satu bagian pentinga dalam pergerakan Nasional. Trikoro dharmo secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan (Jawa sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan tidaklah berneda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu 1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Sebagai elemin pelopor atau perintis trikoro dharmo menjadi referensi gerakan didaerah lain. Pergantian nama menjadi jong java mengakhiri stigma “Jawa sentris”. Inilah usaha memperlias cakupan dan orientasi pergerakan. Didaerah lain organisasi-organisasi seruapun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan seperti jong sumatranen bond/jbs (1917), jong Celebes (1918), jong minahasa (1918-1928), jong batak bond (1925). Yang agak berbeda adalah jong islamieten bond (JIB) Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih particular- kecendrungan kebutuhan menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih luas (Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang mrnjadi daya dorong pergerakan secara formal dikalangan pemuda. Inilah kecendrungaan yang mampu melahirkan jong Indonesia di bandung pada tanggal 27 februari 1927 (hasi keputusan kongres pemuda I, 30 april 1926), sumpah pemuda (SP) sring disebut sebagai generasi penegas atau pendobrak-tanggal 26-28 oktober 1928. namun ini tentunya lebih nersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di nafikan arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. “manifesto politik” perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang dimuat Hindia poetra, edisi maret 1923, telah mengintrodusir gagasan kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri dlam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun nusantara, 2000:139-140). Masa 1928-1939 SP 1928 menjadi referensi orientasi persatuan Nasional bagi pergerakan mahasiswa dan pemuda waktu itu, seperti munculnya Indonesia muda (IM) Tahun 1930 sebagai hasil peleburan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (JSB, JC, JM, SR, dan yang lainnya). IM dipelopori oleh perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dalam perjalannya, banyak organ ini tidak terlepas dari intrik dan friksi internal serta intervensi kolonial melalui tindakannya yang represif. Pada kasus IM, persoalan eksternal dan internal ersebut mampu mendomestifikasikannya hingga gagal memberikan kontribusi signifikan. Realitas ini mendorongan banyaknya anggota IM keluar dan membentuk organ lainnya seperti soeleh pemuda Indonesia (SPI) dan pergerakan pemuda revolusioner (PERPIRI), dan di kemudian waktu juga mengalami problem sama. Kevakuman grakan pemuda di tingkat Nasional sudah mulai terlihat. Vakumnya IM dan organ-organ lainnya telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan Nasional. Kevakuman dan krisis pergerakan yang sharusnya terkait dengan konteks eksternal, seperti malaise ekonomi Dunia Tahun 1929/1930, pembatasan hak berkumpul dan berserikat (pengawasa polisi) dalam rapat-rapat partai, larangan pegawai dalam birokrasi untuk menjadi anggota partai politk, cap Ilegal bagi organ yang di angggap bertentangan dengan lae and order (koninklijk besluit, 1 september 1919). Situasi represif inipun banyaknya pergerakan pemuda Nasional yang di asingkan (sokarno,hatta dan syahrir) setiap organ dituntut memiliki daya tahan jaka ingin bertahan dan dipaksa menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah (G. Moedjanto, 1992:57). Banyak penyiasatan kemudian butuh di lakukan untuk merespon refresif ini. Banyak dari mereka kemudian bertransformasi menjadi studie club. Wilayah gerakan sangat cultural, yakni berupa aksi-aksi penyadaran masyarakat akan arti penting pergerakan, persatuan, pendidikan dan lainnya yang secara cultural bermanfaat bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar, atau majalah (seperti soeleh rakyat, soeleh indonesia) adalah tren baru pergerakan. Di waktu kemudian trend study club ini menjadi usang dalam konteks sosial politik yang berubah. Embrio revolusioner dalam pergerakan cultural mulai membutuhkan ruang ruang sosial untuk “uji materielnya.” Banyak kemudian dari mereka menjadi partai politik seperti algemeene studie club-nya sukarno berubah menjadi partai bangsa Indonesia (PBI) dan lau partai Nasional Indonesia (PNI) pada Tahun 1927. pergeseran ini kemudian diikuti oleh partai-partai baru seperti partai Indonesia raya (PARINDRA)-eks budi utomo, gerakan rakyat Indonesia (GARINDO), dan puncaknya adalah terbentuknya gabungan politik Indonesia (GAPI) pada Tahun 1939. Masa pendudukan Jepang (1942-1945) Pada masa Jepang hampir semua gerakan pemuda dan mahasiswa di bubarkan. Mereka kemudian di mobilisasi dalam mewujudkan Program Asia Timur Raya Jepang. Situasi ketidakamanan akan bahaya perang, memaksa Jepang untuk tidak memberikan ruang politik yang luas, bagi kebutuhan pengorganisasian dukungan. Konsekwensinya, para pemuda di masukkan kedalam barisan-barisan pelopor ketentaraan Jepang, seperti seinendan, keibodan, heiho, dan lainnya. Sebagian lainnya di beri lebel “kebangsaan” seperti pembela tanah air (PETA). Mereka ini, dalam propaganda Jepang, nantinya akan menjadi tulang punggung kemerdekaan. Walaupun sesungguhnya keberadaan mereka tidak lebih sebagai penyiapan bala bantuan Jepang untuk menunjang meliter Jepang pada perang pasifik. Dimulailah era baru pergerakan, yakni era pergertakan bawah tanah. Era ini dikenal sebagai era kejayaan gerakan illegal seperti selebaran, kurpol-kurpol, dan propaganda. Hanya saja seperti nanti dicatat di bawah, gerakan bawah tanah ini di kombinasikan dengan cantik dengan gerakan illegal yang dipimpin sukarno. Salah satu hasil kalaborasi ini adalah keberahasilan pengorganisasian massa pada demonstrai massa di lapangan Ikada. Seperti di sebutkan di atas tidak semua gerakan kepemudaan dan mahasiswa tirap. Kekuatan politik yang di mainkan masih di pertahankan, hanya sajaj dicitrakan agak jauh dari oposisi. Cara yang kedua inilah yang di perankan antara lain oleh sukarno, hatta, dan lainya. Sementara di kubu yang pertama, nama tan malak barangkali yang paling tersohor. Pergeseran yang cukup berarti, terlihat di masa-masa akhir pendudukan Jepang. Kekalahan tentara Jepang oleh sekutu di beberapa tampat, yang didengar oleh aktivis pergerakan Nasional, dapat menjadi buneranga bagi cara politik refresif yan gdigunakan. Putera yang tadinya hendak digunakan ssebagai organ korporatis Jepang, mulai mampu menunjukkan karakter oposisinya. Ini memaksa Jepang untuk lebih akomodatif pada kepentingan politik pergerakan kemerdekaan Nasional. Pembentukan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI adalah contoh terbaik politik akomodatif Jepang di sat-saat akhir pendudukan. Pasca kemerdekaan Tahun 1955 merupakan Tahun ke-5 indonesia menganut system demukrasi liberal (demukrasi parlementer). Eksprimentasi yang kemudian di anggap gagal, karena tidak adanya pemerintah (partai/koalisi partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen) yang mampu bertahan lama (rerata kurang dari 5 Tahun, terlamam tidak lebih dari 2 Tahun) . Enpat parai besar pemenag pemilu 1950, yakni PNI,masyumi, NU, dan PKI, tidak ada yanga meraih mayoritas. Instabilitas politik ini di perparah oleh keterlibatan meliter dalam panggung politik. Rasionalisasi di tubih meliter yang tadinya dimaksudkan untuk memprofesionalkan keberadaannya tidak terkomonikasikan dengan baik. Pasca agresi meliter Belanda I dan II, rencana “pecah belah” dalam model RIS, yang menandai keinginan Belanda (dan sekutu) untuk berkuasa kembali di Indonesia, memunculakan persepsi di ubuh meliter akan kewajiban menjaga kesatuan Nasional. Carut-marut tersebut di perparah keterlibatan elit sipil yan gmencampuri internal meliter. Singkatnya, dalam perspektif meliter, Pertama, menolak intervensi sipil dalam urusan internal meliter (seperti kasus pelantikan bambang otoyo sebagai KSAD), dan kedua, melihat instabiitas politik adalah karakter dasar dari kepemimpinan politik sipil. Walaupun, sesungguhnya yang lebih dominan adalah yang pertama, sedangkan yang kedua akan menjadi bahan yang makin akumolatif di kemudian waktu. “pembangkangan” awal meliter teahdap kepemimpinan sipil, didemonstrasikan dalam pagelaran pasukan di depan istana Negara di bawah komando A.H. Nasutin, di tengah pidato presiden sukarno pada tanggal 17 oktober 1952. inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut hingga di kemudian hari. Kesemuanya berimplikasi pada instabilitas politik yang dalam konteks Negara baru seringkali tidak menguntungkan. Krisis politik ini di perparahatau di matangkan oleh kerisis ekonomi yang diawali sekitar 1954-1959 (yang akan semakin parah di Tahun-Tahun berikutnya). Tingkat insplasi tinggi-yang merupakan indicator makro stabilitas ekonomi-menurunkan tingkat daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Namun tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahtraan di ukur, senyatanya persoalan kemiskinan belum tertanggulangi. Dalam disertasinya, Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa suplai uang, devisit anggaran, dan biaya hidup meningkat sekitar tiga kali lipat.

No comments:

Post a Comment