ISLAM DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) DALAM
PERSPEKTIF SEJARAH
ISLAM DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) DALAM
PERSPEKTIF SEJARAH
Oleh: Ribut Purwo Juono, S.Ag.,M.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Masa
peralihan dari abad ke 19 ke abad 20 bukan hanya menjadi saksi dari semakin
melekatnya identitas keislaman dengan identitas kebangsaan, tetapi juga menjadi
saksi proses perumusan langkah-langkah baru menuju terbebasnya tanah air dari
penjajahan bangsa asing. Penduduk di kepulauan ini tidak saja memerlukan jati
diri, tetapi juga memerlukan simbol-simbol tertentu untuk menegaskan hasrat
mereka yang hendak merdeka, bersatu dan berdaulat di tanah airnya sendiri. Sesudah mereka menemukan Islam sebagai jati
diri, mereka mencari sebuah nama untuk kepulauan ini yang lebih terasa merajuk
pada persatuan dan kesatuan, maka lahirlah nama Indonesia.[1]
Sebagaimana kita ketahui, selama
bertahun-tahun, Dunia Barat dikuasai oleh kaum agamawan yang berpusat di Roma.
Sebagian orang barat tidak menyetujui dominasi kekuasaan oleh kaum agamawan. Di
bidang agama, gerakan protes terhadap dominasi kaum agamawan itu melahirkan
Protestanianisme, dan sebagainya. Sedangkan di dunia politik sikap itu kemudian
melahirkan gagasan pembentukan nation-state (negara bangsa). Akibat sampingan
dari sikap tidak menyetujui dominasi kaum agamawan itu, memunculkan sikap anti
agama di sementara kaum politisi barat. Selain itu alasan yang mengilhami
munculnya semangat nasionalisme sebagai gerakan politik, juga adalah adanya
peran negara yang sentralistik dengan sistem sekularisasi kehidupan dari hal
yang irasional, pemaksaan pendidikan suatu jenis bahasa, melemahnya pengaruh
kekuasaan gereja serta sekte, dan perkembangan kapitalisme serta
industrialisasi telah turut memberi andil dalam menumbuhkan semangat
kebangsaan. Inilah awal lahirnya nasionalisme modern.[2]
Gagasan
kebangsaan itu kemudian menarik perhatian Soekarno (Bung Karno), seorang pemuda
aktifis kemerdekaan yang terkenal gigih, bersama sejumlah pemimpin lain di
Indonesia. Maka Bung Karno pun mengambil alih gagasan tersebut menjadi gagasan
perjuangan di Indonesia yang kemudian dirumuskan menjadi nasionalisme Indonesia.[3]
Makalah
ini akan membahas tentang peran umat Islam dalam merumuskan dasar Negara dan
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta nasionalisme Islam
Indonesia.
B. NASIONALISME ISLAM, PANCASILA DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)
Dalam
Islam, gerakan nasionalisme berkembang seiring dengan meluasnya imperialisme bangsa
eropa ke negara muslim. Terdapat dua isu besar yang mewarnai dunia muslim abad
ke 19, ketika iprealisme mendominasi dunia muslim, tak terkecuali Indonesia
yaitu bangkitnya gerakan kemerdekaan dan isu nasionalisme.
Ada dua
bentuk nasionalisme yang berhadapan dan sering kali bersitegang pada masa awal
pembentukan NKRI yaitu “ masyarakat terbuka” dan “masyarakat tertutup”.
Masyarakat terbuka direpresentasikan dengan bentuk negara dengan sistem yang
transparan tidak membedakan ras atau etnik, dan berbasis pada masyarakat politk
serta kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Adapun masyarakat tertutup
lebih menekankan bentuk negara otokrasi, membedakan ras dan etnis, serta
terikat pada determinisme historis, yakni bahwa bentuk masyarakat ideal telah
terbentuk di masa lalu.[4]
Bung
karno, Dengan sikapnya yang apresiatif kepada Islam sebagai jati diri penduduk
di kepulauan nusantara, merumuskan nasionalisme yang sama sekali berbeda dengan
yang ada di barat yang cenderung sekuler (anti agama). Meskipun tetap berpegang
kepada pendapat perlunya memisahkan agama dari negara, nasionalisme yang
dirumuskan dan dikembangkan oleh Bung Karno dan yang kemudian menjadi
nasionalisme Indonesia, mengambil bentuk menghormati agama.
Untuk
menunjukkan kesungguhannya hendak memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia,
pada tanggal 1 Maret1945 Jepang membentuk Dokuritsu Zjubi Tjoosakai (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia-BPUPKI). Dalam
melaksankan tugasnya , BPUPKI -- yang pada tanggal 7 Agustus 1945 mengubah
namanya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)- mengadakan dua
kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung
di Jakarata sebelum Jepang dikalahkan Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.
Sidang-sidang resmi diadakan untuk membahas masalah dasar negara,
kewarganegaraan, serta rancangan Undang-undang Dasar, dipimpin langsung oleh ketua
BPUPKI, Radjiman.
Sidang
pertama berlangsung 28 Mei -1 juni 1945, membahas dasar negara. Sidang kedua
berlangsung antara tanggal 10-17 juli 1945 membahas bentuk negara, wilayah
negara, kewarganegaraan, rancangan Undang-undang dasar, ekonomi dan keuangan,
pembelaan, pendidikan dan pengajaran.[5]
Dari 62
anggota BPUPKI itu, kemudian diambil sembilan orang yan dianggap mencerminkan
aspirasi rakyat. Mereka ialah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A.
Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakkir, H.Agus Salim, Mr.
Achmad Soebardjo, A. Wachjd Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Kesembilan orang
itulah, disebut Panitia Kecil atau Panitia Sembilan, yang kemudian merumuskan
apa yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta 22
Juni 1945 yang kontroversial itu.
Perumusan
Piagam Jakarta menunjukkan sedemikian rupa bahwa keinginan orang Islam di
Indonesia perlu dijamin identitasnya. Kewajiban mereka melaksanakan Syariat
islam perlu dijamin secara konstitusioanal. Ini bukan berarti umat Islam
menghendaki pemisahan, melainkan karena posisinya yang mayoritas itulah mereka
memerlukan jaminan konstitusional dalam melaksanakan syari‟at agamanya. Hal ini dikarenakan
melaksanakan syariat Islam itu merupakan kewajiban umat islam. Mendirikan
negara tanpa ada jaminan terhadap kewajiban melaksanakan syari‟at, memberi kesan kurang kuatnya
posisi konstitusional kita di negara ini. Lagi pula, dengan memberikan jaminan
konstitusional kepada penduduk mayoritas, stabilitas negara yang akan
dilahirkan pasti menjadi sangat lebih terjamin. Demikian
argumentasi para pendukung penegakan Syariat Islam di Indonesia pada waktu itu.
Presiden
Soekarno pada tanggal 10 November 1956 melantik para anggota Majelis
Konstituante yang bertugas bersama-sama dengan pemerintah secepatnya menetapkan
Undang-Undang dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Udang-Undang
Dasar sementara.
Di
Konstituante ini terjadi bagaimana tajamnya debat antara para pemimpin
Indonesia kaliber nasional yang dengan penuh keyakinan mengemukakan
pendiriannya masing-masing. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang sangat
tajam, kita harus menghargai mereka oleh karena kesungguhan yang telah mereka
lakukan. Dua pendapat akhirnya mengkristal dalam rapat konstituante, Pertama,
Islam sebagai dasar negara yang didukung oleh murni kaum muslim, dan Pancasila
sebagai Dasar Negara yang didukung oleh kaum Nasionalis yang terdiri dari kristen,
katolik, Murba, komunis dan sebagian kaum muslim tentunya.[6]
Dalam hal ini kita mencatat tujuh peristiwa
penting berkaitan dengan penemuan dan peneguhan kembali jati diri bangsa itu,
yakni: (1) 1 juni 1945 ketika untuk pertama kalinya, dalam sidang BPUPKI, Bung
Karno secara pribadi menawarkan lima rumusan yang kemudian dia beri nama
Pancasila, (2)22 Juni 1945 ketika Panitia sembilan menyepakati piagam jakarta
sebagai preambule UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat”…dengan kewajiban
melaksanakan syari‟at Islam bagi para pemeluknya”. Anak kalimat tersebut oleh
Panitia Sembilan dan rapat besar BPUPKI disepakati sebagai rumusan kompromi
terbaik antara kaum nasionalis dan kalangan Islam, (3) 18 Agustus 1945 ketika
anak kalimat “…dengan kewajiban melaksanakan syari‟at Islam bagi para
pemeluknya” dicoret, (4) 6 Februari dan 15 Agustus 1950 dengan berlakunya
Konstitusi RIS dan UUD Sementara tahun 1950 terjadi perubahan redaksional
terhadap preambule UUD 1945 di sana-sini, (5) 5 Juli 1959, saat Piagam jakarta
dinyatakan menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi,
(6) 22 juli 1959 saat Dekrit Presiden disetujuai secara aklamasi oleh DPR hasil
pemilihan umum 1955, dan (7) 5 Juli 1966 saat MPRS secara aklamasi meneguhkan
kesepakatan DPR hasil pemilihan umum 1955 mengenai dekrit Presiden 5 juli 1959.
Peristiwa terkahir itu, yang terjadi di awal Orde Baru, membuktikan bahwa
Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta, memang telah diterima
sebagai kenyataan oleh seluruh bangsa Indonesia.[7]
Pancasila
adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang hidup di tanah air. Namun,
sebagai sebuah kesepakatan, seluhur apapun, tidak akan banyak berfungsi jika
tidak didudukkan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa
kita itu akhirnya dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara.
Ideologi bangsa, artinya setiap warga negara republik Indonesia terikat oleh
ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang
tertuang dalam kelima silanya yang terdapat dalam pembukaan UUD 45.
“…Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” [8]
Pandangan hidup dan sikap warga negara secara
keseluruhan haruslah bertumpu pada pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya
masing-masing sila. Sedangkan sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus
sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan
produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam
mengatur hubungan formal antara lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam
kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa ditentukan lingkupnya oleh sebuah
falsafah yang harus terus menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh
negara, agar kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga akan terjaga
dengan baik.[9]
Nasionalisme yang tumbuh dari kalangan umat Islam terbentuk
atas dorongan nilai islam yang menekankan kecintaan kepada negara yang dianggap
sebagai bagian dari keimanan (Hubbul wathan min al-iman). Pada umumnya
nasionalisme sebagai paham yang terkait dengan konsep negara bangsa
(nation-state) menguat di negara muslim pada abad ke-20 yang kemudian
mengantarkannya kepada kemerdekaan dari penjajahan. Akan tetapi dalam banyak
kasus, nasionalisme yang berkembang di dunia muslim bukan lagi nasionalisme
relegius tapi lebih pada nasionalisme sekuler.
Di Indonesia, nasionalisme Islam melahirkan
Pancasila sebagai ideologi negara. Digantinya sila pertama Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada sidang PPKI 18
Agustus 1945 merupakan bagian terpenting dari kesadaran nasionalisme umat Islam
secara kolektif.
Mayoritas umat Islam Indonesia menilai tidak
ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Namun demikian, tidak sedikit pula
yang beranggapan bahwa Islam dan pancasila tidak dapat berdampingan sebagai
ideologi dan keyakinan. Sebagian kelompok muslim yang coba mempertentangkan
antara Pancasila dengan islam kiranya termasuk muslim yang tak mampu memahami
ajaran pancasila secara utuh (kaffah). Bukankah sila-sila yang terangkum dalam
Pancasila merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam, mulai dari nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan universal? Pancasila adalah
falsafah negara Indonesia yang mencerminkan kondisi bangsa kita sangat plural,
baik dari segi agama, suku, budaya, dan sebagainya.
Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa
antara Islam dan nasionalisme bukan sesuatu yang bertentangan. Nilai-nilai
nasionalisme ada dalam ajaran Islam. Nasionalisme Islam tidak sebatas dilandasi
oleh tanggung jawab sosial berbasis pada geografis dan etnis, melainkan lebih
didasari pada keimananan dan kecintaan kepada sesama umat manusia. Terkait
dengan bentuk negara Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa
menegakkan negara merupakan keharusan doktrinal dan praktis, dan sesuai dengan
pandangan klasik dari al-Asy‟ari beserta tokoh-tokoh lainnya. Menurutnya Allah
telah membuat manfaat-manfaat agama dan manfaat dunia tergantung kepada para
pemimpin, tidak perduli apakah Negara tersebut merupakan salah satu asas agama
atau bukan. Ia tidak tertarik dengan institusi imamah (teokratis); ia hanya
menginginkan supremasi agama. Baginya bentuk dan struktur pemerintahan tidak
penting atau paling-paling merupakan hal yang sekunder baginya, yang terpenting
adalah pelaksanaan syari’ah.[10] Secara teologis, bagi kaum muslimin, Islam sebagai agama
dipandang sebagai sebuah perangkat sistem kehidupan yang komplek dan mumpuni
dan diyakini merupakan mekanisme yang ampuh dalam menghadapi berbagai persoalan
kehidupan yang dihadapi, karena sifat sakralitasnya yang kuat disebabkan ia
berasal dari Tuhan, dan sempurna disebabkan karena ia merupakan risalah penutup
bagi umat manusia. Universalitas Islam di atas akan berubah bentuknya ketika
Islam sebagai agama dilihat dari sudut pandang sosiologis. Ada dua keadaan
ketika pemaknaan terhadap Islam dilakukan, sehingga meniscayakannya turun pada
tataran-tataran partikular dalam kehidupan seorang muslim. Pertama, perubahan
zaman yang selalu ditandai dengan hal-hal yang belum terpikirkan sebelumnya.
Kedua, perbedaan karakteristik tempat dimana Islam itu tumbuh. Kedua keadaan
ini mutlak berimplikasi langsung pada tatanan sosial masing-masing masyarakat.
Dapatlah dipahami bahwa penegakan atau penerapan syari’ah secara struktural
tidaklah penting, namun yang lebih penting adalah substansi penerapan syari’ah
itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Nasionalisme Islam Indonesia bermakna luas,
tidak bersifat sektarian. Nasionalisme Islam Indonesia dilandaskan pada asas
kebhinekaan. Karenanya, umat Islam yang berpandangan luas tentunya akan
menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang Bhineka Tunggal Ika dan
Pancasila sebagai dasar negara. Hal demikian ini tentu saja tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, bahkan dapat dikatakan sejalan dengan misi Rasulullah SAW
sebagai rahmat bagi seluruh alam sebagaimana firman Allah yang tersebut dalam
al-Qur’an Surat al-Anbiyaa’ 107 sebagai berikut:
وما أرسلناك إلاّ رحمة للعالمين (الأنبياء ١٠٧)
“Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus
kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiyaa’ (21):
107).
C. KESIMPULAN
Secara
historis perumusan Pancasila sebagai dasar negara maupun pembetukan Negara
kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak terlepas dari peran aktif yang sangat
besar dari umat Islam. Perubahan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” merupakan suatu bentuk toleransi dan kepedulian umat Islam
yang sangat besar terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nasionalisme yang tumbuh dari kalangan umat Islam terbentuk
atas dorongan nilai islam yang menekankan kecintaan kepada negara yang dianggap
sebagai bagian dari keimanan. Nasionalisme Islam
Indonesia bermakna luas, tidak bersifat sektarian. Nasionalisme Islam Indonesia
dilandaskan pada asas kebhinekaan. Tidak ada pertentangan antara Islam dan
nasionalisme, bahkan nasionalisme itu sendiri merupakan bagian dari ajaran
Islam.
No comments:
Post a Comment